KEKASIHKU, KASIHKU, KEHIDUPANKU (Kidung Agung 2:8-17)

Kata mesra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “lekat” dan “padu”. Kondisi mesra ini biasanya terjadi kalau seorang laki-laki jatuh cinta pada seorang perempuan, atau sebaliknya. Cinta membawa pasangan yang saling mencintai itu terpadu satu terhadap yang lain. Sapaan mesra pun diberikan kepada pasangan, yaitu “kekasihku” (ayat 8, 9, 10). Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, kecuali dinyatakan dengan prilaku menyatu yang sangat kuat dan tak dapat dipisahkan, bahkan oleh maut sekalipun. Dapat dimengerti kalau orang jatuh cinta biasanya membuat pernyataan yang tidak mudah diwujudkan, seperti “sehidup, semati”. Sekalipun pernyataan ini tidak mudah diwujudkan, tapi itulah ungkapan kemesraan.

 

Hubungan yang mesra itu dalam bacaan kita hari ini, Kidung Agung 2: 8 – 17, digambarkan dalam kegirangan sang kekasih hendak berjumpa dengan yang dicintainya, yang disapa dengan panggilan mesra: “manisku”, “jelitaku” (ayat 10). Hubungan yang mesra ini menggambarkan pula hubungan Yesus dengan jemaat-nya, misalnya dalam kitab Wahyu digambarkan sebagai “pengantin perempuan” dan “suaminya”, “pengantin perempuan” dan “mempelai Anak Domba” (21:2, 9; 22:17). Untuk apa sang kekasih menjumpai mempelai perempuan itu? Bukan untuk mengajak jalan-jalan, melainkan untuk bekerja. Perhatikan ayat 10: “Kekasihku mulai berbicara kepadaku: “bangunlah manisku, jelitaku, marilah!”. Ada alasan ajakan bekerja tersebut, yaitu, karena “musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu”. (ayat 11). Alasan itu bukan hanya mengenai musim, tetapi juga mengenai tuaian yang mulai berbunga dan berbuah. “Pohon arah mulai berbuah, dan bunga pohon anggur semerbak baunya. Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah.” (ayat 13).  Ini ajakan untuk bekerja, bukan untuk santai, karena “musim memangkas” telah tiba (ayat 12).

 

Sekalipun ajakan tersebut adalah ajakan sang kekasih kepada pengantin perempuan, namun hubungan Kristus dengan jemaat digambarkan pula sebagai hubungan suami-istri (lih. Epesus 5:22 – 25), maka ajakan untuk bekerja tersebut dapat dihayati dalam kerangka panggilan Kristus kepada jemaat-Nya untuk bangun dan bekerja. Gereja hari ini tidak bisa lagi santai dan bermalas-malasan, sebab “musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu. Di ladang telah tampak bunga-bunga, tibalah musim memangkas” (ayat 11, 12). GKI di Tanah Papua, paling sedikit sejak Sidang Sinode di Waropen, telah menyadari sungguh, bahwa  saat ini bukanlah waktu untuk santai, melainkan waktu untuk bekerja, karena musim memangkas telah tiba. GKI di Tanah Papua tidak boleh santai dan bermalas-malas menghadapi kekafiran baru dalam jemaat-jemaat, yaitu kondisi dimana orang Kristen tidak lagi beribadah kepada Kristus. Dalam banyak jemaat GKI hari ini, ibadah minggu dihadiri hanya oleh sebagian anggota jemaat, sebagian yang lain hanya santai dan bermalas-malas di rumah atau mengunjungi tempat-tempat wisata untuk bersenang-senang. Ini gejala Kristen tanpa Kristus, yang patut disikapi dengan serius. Para pekerja dalam Gereja ini tidak bisa lagi berdiam diri menghadapi kondisi Kristen tanpa Kristus tersebut, karena misi GKI sejak tahun 2022 telah menegaskan bahwa gereja ini hendak “mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah dalam persekutuan, kesaksian, pelayanan kasih dan keadilan” (Tata Gereja, Bab III, pasal 7). Misi gereja bukan untuk sekedar pajangan pada tata gereja, melainkan untuk dilakukan dan wujudkan dalam kehidupan bergereja.

 

Dalam terang misi gereja tersebut, GKI di Tanah Papua pun peduli terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat dengan berkomitmen menjadi gereja pembawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Dalam kondisi  di mana masyarakat tidak mengalami keadilan baik dibidang hukum, ekonomi dan social maka warga GKi hadir untuk bekerja dan berjuang menegakkan keadilan. Di tengah kondisi sosial yang diwarnai konflik dan ketegangan, warga GKI hadir, bekerja dan berjuang mewujudkan perdamaian, bahkan ketika masyarakat tidak mengalami hidup yang sejahtera, warga GKI berjuang bagi kesejahteraan banyak orang. Untuk apa kerja keras dan perjuangan ini dilakukan? Untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah, yang telah dihadirkan Sang Kekasih, Yesus Kristus, yang telah datang dalam kemenangan dengan “melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit”. Di atas bukit Golgota pada salib, dari mana Yesus berseru “sudah selesai” (Yohanes 19: 30), karya keselamatan diselesaikan dengan sempurna. Golgota bukan sekedar bukit kematian, tetapi bagi orang percaya adalah bukit kemenangan dan kehidupan. Di atas bukit itu manusia dan secara khusus warga GKI meloncat-loncat kegirangan dan sukacita atas kemenangan yang dikerjakan secara sempurna oleh Sang Kekasih, Yesus. Ini hendaknya memotivasi warga GKI untuk membangun hubungan yang mesra dengan Sang Kekasih tersebut. Kemesraan hubungan itu antara lain terlihat dalam kehadiran pada ibadah-ibadah jemaat.

 

Sebagai respons iman atas kemenangan yang diberikan Sang Kekasih itu, kita patut dengar dan ikuti panggilan-Nya. “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah! Karena lihatlah, musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu. Di ladang telah nampak bunga-bunga, tibalah musim memangkas” (ayat 10 – 12). Bangunlah warga GKI, marilah bekerja dan berjuang untuk menyatakan tanda-tanda kerajaan Allah, agar setiap orang mengalami kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. Kita harus bangkit dari rasa nyaman yang semu, yang membuat kita masa bodoh dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk bekerja dan berjuang bagi kebaikan orang banyak. Kita dimenangkan oleh Kristus di atas bukit Golgota dari kuasa dosa dan maut, agar kita membawa kemenangan itu bagi orang lain, sehingga mereka ikut merasakan kemenangan itu dalam kehidupan yang  adil, damai dan sejahtera.

 

Dalam bulan-bulan ini perhatian kita tersita oleh kegiatan politik, mulai dari pencalonan dan pemilihan anggota DPR dan kepala daerah, wali kota, bupati dan gubernur. Ada warga GKI yang turut ambil bagian dalam kegiatan politik tersebut. Ada yang menang dan menjadi anggota Lembaga legislatif, tetapi ada pula yang belum beruntung. Yang menang tentu merasa sukacita, dan sebagai warga gereja patut menghayati kemenangan itu sebagai anugerah untuk suatu tugas-panggilan dalam dunia politik. Apa tugas-panggilan dalam dunia politik? Rasul Paulus menyatakan bahwa pemerintah itu, termasuk lembaga legislatif, adalah hamba Allah untuk kebaikan (Roma 13:4), bukan saja untuk kebaikan pribadi dan keluarga serta kepentingan kelompok politik, melainkan kebaikan banyak orang, kebaikan rakyat seluruhnya. Dalam bahasa misi GKI, warga GKI yang melayani dalam dunia politik ada di situ untuk bekerja dan berjuang mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah, agar masyarakat mengalami kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. GKI hari ini memang memberi perhatian terhadap pelayanan di bidang politik, karena GKI memiliki amanat untuk memberitakan firman Allah di jemaat dan dunia, termasuk dunia politik. Karena itu warga GKI yang diperkenankan Tuhan memasuki dunia politik diutus dalam suatu ibadah pengutusan.

 

Memenuhi panggilan untuk bekerja dan berjuang bagi kerjaan Allah bukan tanpa tantangan. Ada tantangannya. Perhatikan ayat 15, “Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur; kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!”. Rubah, binatang kecil di hutan, yang merusak tanam yang mulai berbunga. Kalau rubah itu tidak ditangkap, maka akan sia-sia pekerjaan yang sudah dilakukan. Karena itu, pengantin perempuan meminta kekasihnya, menangkap rubah-rubah itu, sebab dialah yang “menggembalakan domba di tengah bunga bakung” (ayat 16). Kita bangkit untuk bekerja bagi kerajaan Allah, mewujudkan tanda-tandanya dalam kehidupan masyarakat yang adil, damai dan sejahtera, namun tugas-panggilan ini harus kita lakukan dalam persekutuan dan kesatuan dengan Sang Kekasih kita, yaitu Yesus Kristus. Sebab Dialah Gembala yang Baik, yang menggembakan umat-Nya, Dialah Gembala yang menjaga kita dari rubah-rubah yang merusak pekerjaan dalam kebun anggur kerajaan Allah. Rubah-rubah yang merusak pekerjaan pelayanan untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah bisa berasal dari luar, tetapi juga bukan tidak mungkin dari dalam diri kita sendiri. Kita bekerja tapi untuk kepentingan diri sendiri, ini merupakan rubah yang merusak tanaman yang kita tanamam; kita bekerja dan melayani tetapi untuk keuntungan diri sendiri, ini rubah yang merusak pekerjaan dalam kebun anggur Tuhan; kita bekerja dan melayani tetapi tidak menurut kehendak Tuhan, ini pun menjadi rubah yang merusak rancangan damai sejahtera Allah bagi kebaikan umat-Nya. Belum lagi serangan rubuh-rubah dari luar, yang menghambat dan menggagalkan pekerjaan pelayanan gereja bagi kemanusiaan. Karena itu, persekutuan dan kesatuan kita dengan Sang Kekasih, Yesus Kristus, Gembala  Agung, harus semakin mesra dan kokoh, agar kita memiliki kekuatan untuk menghadapi rubah-rubah yang merusak dan menghambat pekerjaan dan pelayanan bagi kerajaan Allah. Kita benar-benar harus ada di dalam Kristus, sebab segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita (Filipi 4:13).  Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

4 Komentar untuk "KEKASIHKU, KASIHKU, KEHIDUPANKU (Kidung Agung 2:8-17)"

  1. Tuhan berkati selalu Nona Pendeta dalam tugas pelayanan

    BalasHapus
  2. Terimakasih Pdt selalu memberikan renungan buat membantu saya dalam menyiapkan cerita buat anak anak sekolah Minggu dilam ibadah Minggu pagi TYB

    BalasHapus

Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.

YANG PALING BARU

KEKASIHKU, KASIHKU, KEHIDUPANKU (Kidung Agung 2:8-17)

ABOUT ME

Foto saya
Sorong, Papua Barat Daya, Indonesia
Menemukan PELANGI dalam hidup sendiri dan menjadi PELANGI di langit hidup sesama. Like and Subscribe my youtube channel: DEAR PELANGI CHANNEL

Iklan

Display

Inarticle

Infeed