KEKUATAN DAN KESETIAAN CINTA (Kidung Agung 1:1-8)
Cinta sebuah kata yang sangat populer, dikenal bahkan dialami oleh semua golongan manusia. Seorang laki atau perempuan yang jatuh cinta menglami rasa disatukan dengan sangat dalam terhadap pasangan cintanya. Begitu dalam kesatuan itu, sehingga selalu merindukan sapaan dan sentuhan cinta. “Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur, harum bau minyakmu bagaikan minyak yang tercurah namamu, oleh sebab itu gadis-gadis cinta padamu” (ayat 1). Ini ungkapan kemesraan cinta. Ini bahasa kekuatan cinta. Begitu dalam kemesraan cinta dan begitu hebat kekuatan cinta, sehingga kalau terjadi putus cinta orang bisa mati. Ini pula yang dialami Yesus. Yesus begitu mencintai manusia yang dikuasai dosa dan maut, karena manusia putus cinta dengan Allah, sehingga Yesus rela mati di salib.
Kitab Kidung Agung atau Kidung Salomo secara langsung tidak berbicara mengenai Tuhan dan Jemaat. Akan tetapi, ungkapan-ungkapan cinta antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan (Kid 4) merupakan metafora dan bayangan hubungan Yesus dengan jemaat, yang akan terjadi ketika Yesus datang dan jemaat-Nya ada di bumi ini. Maka tidak berlebihan jika dikatakan, jemaat-jemaat dan orang Kristen hari ini harus belajar mengenai hubungan cinta dalam Kidung Agung untuk diterapkan dalam hubungan dengan Yesus. Apa yang dapat kita pelajari dari Kidung Agung 1:1–8?
Pelajaran yang pertama, adalah bahwa relasi orang Kristen dengan Yesus sebagai Tuhan dan Jurus’lamat harus seperti hubungan laki-laki dan perempuan sedang jatuh cinta. Seperti disebut dalam ayat 1 tadi, harus selalu ada kerinduan merasakan sapaan dan sentuhan cinta dan kekuatan cinta. Dulu ketika masih pacaran, kalau pacar hari minggu ke gereja pasti juga mau ke gereja, itu karena mau merasakan sentuhan dan sapaan cinta dari pacar, tetapi juga itu ada kekuatan cinta yang menggerakkan datang ke gereja. Sekarang setelah menikah, malas ke gereja, pada hal kekasih jiwa kita yaitu Yesus pada hari minggu mau berjumpa dengan kita di gereja. Kita patut memperbaiki hubungan kita dengan Yesus. Dia sudah rela mati demi cinta-Nya kepada kita, kenapa kita tidak rela mengorbankan waktu untuk datang ke gereja memuliakan nama-Nya? Apakah karena kita sudah punya tambatan hati lain di luar Yesus? Apakah malas sudah jadi pacar kita, apakah sibuk sudah jadi pacar kita, apakah lembur sudah jadi pacar kita, apakah santai sudah jadi pacar kita? Tetapi hari ini kita diingatkan, pacar kita hanya satu, yaitu Yesus Kristus.
Kedua, kita mengimani, bahwa Yesus itu Raja kita, karena Dia berkuasa di sorga dan di bumi (Mat 28:18). Oleh kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus telah menjadikan kita sebagai warga kerajaan Allah, karena itu, kita adalah anak-anak Allah yang senatiasa memuji kebesaran-Nya. Keadaan ini diungkap dalam Kidung Salomo demikian: “Sang raja telah membawa aku ke dalam maligai-maligainya” (ayat 4). Hubungan yang mesra dengan sang Raja, Yesus, harus menjadi ciri hidup kita, sebab saat ini kita ada bersama Dia di dalam maligai atau istana kerajaan-Nya. Maka sebagai orang-orang istana, selalu harus “bersorak-sorai dan bergembira” karena sang Raja. Apapun tantangan kehidupan yang kita hadapi, tetapi sebagai anak-anak kerajaan Allah, orang Kristen dan secara khusus warga GKI di Tanah Papua, senantiasa harus bersorak-sorai dan bergembira. Mengapa? Karena “cintamu lebih dari pada anggur” (ayat 4). Anggur itu manis dan enak, tetapi cinta Yesus kepada kita yang percaya kepada-Nya lebih enak dan lebih manis. Dan karena itu, layaklah kita cinta Yesus, pantaslah kita pertaruhkan segenap hidup kita kepada Yesus.
Ketiga, orang Kristen dan secara khusus warga GKI di Tanah Papua, yang telah menjadi bagian dari maligai sang Raja, Yesus, maka cara pandang terhadap orang lain harus berbeda. Tidak boleh ada sikap merendahkan orang lain karena perbedaan warna kulit misalnya. Kekuatan dan kesetiaan cinta kepada Yesus selalu melihat dan berpikir positif terhadap orang lain. “Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam” (ayat 6). Orang hitam selalu dilihat dengan mata sebelah, karena warna hitam secara tradisonal, terutama di dunia barat, bermakna negatif terkait dengan kejahatan, kematian, kesedihan, dan sihir. Tetapi orang yang mencintai dan di cintai Yesus, melihat dan menghargai orang lain karena peranan dan apa yang dia lakukan di tengah masyarakat. “Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam, karena terik matahari membakar aku,…aku dijadikan mereka penjaga-penjaga kebun anggur” (ayat 6). Bukan kulit hitam yang dilihat, tetapi apa yang dilakukan di tengah orang banyak. “Menjadi penjaga-penjaga kebun anggur”. Anggur bagi orang Israel memiliki nilai yang tinggi, bukan hanya nilai ekonomi, tetapi juga nilai sosial, ingat Yesus membuat air jadi angur di pesta kawin di Kana (Yoh 2:1 – 11), karena pesta kawin tanpa anggur akan memalukan. Jadi penjaga kebun anggur suatu pekerjaan yang mulia, pekerjaan yang memberi kehidupan.
Keempat, orang Kristen yang punya relasi iman dengan Yesus
sang Raja dan sang Gembala, patut selalu bertanya: “di mana kakanda membiarkan
domba-domba berbaring pada petang hari. Karena mengapa aku akan jadi serupa
pengembara dekat kawanan-kawanan domba teman-teman?” (ayat 7). Sebuah
pertanyaan yang menunjukan kesadaran, bahwa orang Kristen dan terutama warga
GKI di Tanah Papua tidak boleh bersikap masa bodoh kepada orang-orang di
sekitar kita, seakan-akan kita ini “serupa pengembara dekat kawanan-kawanan
doman”. Pengembara adalah orang yang tidak menetap di satu tempat, karena itu
tidak berbuat apa-apa. Melihat orang susah, orang sakit, orang dalam kesulitan,
orang dalam pergumulan dan beban hidup, tetap lewat dan jalan terus. Warga GKI
Tanah Papua tidak pantas seperti itu, karena kita memiliki hubungan cinta yang
mesra dengan Yesus, sang Gembala. Karena itu kita diperintahkan: “ikutilah
jejak-jejak domba, dan gembalakanlah ana-anak kambingmu dekat perkemahan para
gembala” (ayat 8). Warga GKI di Tanah Papua tidak boleh masa doboh dengan orang
lain di sekitar kita, mereka adalah domba yang harus digembalakan, “ikutilah jejak-jejak
mereka dan gembalakanlah”, ketika mereka dalam susah, hiburlah mereka; ketika
menderita sakit, lawatlah mereka; ketika dalam kekurang, topanglah mereka. Inilah
sikap dan cara hidup yang menunjukan bahwa kita punya hubungan cinta yang mesra
dengan Yesus. Perhatikan pernyataan Yesus dalam Matius 25:40: “Dan Raja itu
akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Apabila selama ini kita masih menjadi pengembara, yang masa bodoh dengan orang
lain, maka mulai hari ini marilah kita berkomitmen untuk menjadi gembala, yang
peduli dan memperhatikan kehidupan orang lain. Ingatlah pesan sang Gembala:
“ikutilah jejak-jejak domba, dan gembalakanlah”. Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)
Terimakasih Tuhan Yesus memberkati
BalasHapusterima kasih renungannya ibu Diana. Tuhan Yesus memberkati
BalasHapus