KASIH DAN DAMAI (I Petrus 3:8-12)
Suasana keagamaan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini tidak begitu menggembirakan. Orang Kristen di bagian-bagian tertentu dari Nusantara ini masih mengalami tindak kekerasan dari pihak yang membenci keberadaan gereja. Orang Kristen beribadah dibubarkan. Ijin mendirikan gedung gereja dipersulit. Pelayanan sosial dan kemanusiaan bagi masyarakat yang mengalami bencana pun tidak disukai. Tentu kita tidak dapat menuntup mata terhadap suasana kebesamaan dan kesatuan sosial di beberapa tempat tertentu. Namun sikap intoleransi dari beberapa kelompok sebagaimana disebutkan tadi menodai keberadaan bangsa dan negara yang didasarkan pada keTuhanan yang Maha Esa. Fakta intoleransi itu dapat menunjukkan bahwa di Indonesia ada orang beragama, tetapi tidak berTuhan.
Ketika Petrus menulis suratnya kehidupan orang Kristen tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang Kristen pada hari ini yang mengalami kebencian dan permusuhan dari orang-orang yang tidak suka dengan pengikut Kristus. Bagaimana menyikapi suasana keagamaan yang tidak menyenangkan tersebut? Apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang yang berlaku jahat bagi orang Kristen? Membenci mereka, dendam dan membalas dengan yang jahat? Atau pertanyaan yang lebih alkitabiah dan teologis adalah: apa yang menjadi titik tolak untuk menyikapi suasana keagamaan yang tidak baik tersebut? Apakah titik tolaknya Tuhan atau diri kita manusia? Titik tolak apa yang Petrus gunakan?
Ternyata yang Petrus gunakan untuk menyikapi suasana keagamaan yang buruk itu adalah Tuhan, bukan manusia. Perhatikan pernyataan Petrus ini: “Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (ay 12). Bagi orang Kristen, Tuhan adalah titik tolak atau dasar untuk menilai dan menyikapi keadaan buruk yang diciptakan orang lain yang tidak suka dan membenci kekristenan. “Mata Tuhan tertuju..”, bukan mata manusia yang tertuju, tetapi sekali lagi, “mata Tuhan”. Kita gunakan “mata Tuhan” untuk melihat orang lain. Cara pandang Tuhan itulah yang kita pakai untuk menyikapi tindakan jahat orang lain, cara pandang Tuhanlah yang digunakan untuk menghadapi penderitaan yang ditimbulkan oleh keadaan yang direkayasa oleh orang-orang yang asosial, orang-orang yang beragama, tetapi tidak bertuhan.
Memakai titik tolak atau dasar Tuhan untuk menyikapi tindakan orang lain, bukan hanya digunakan oleh Petrus, tetapi juga Rasul Paulus. Dalam 1 Korintus 3:11 Rasul Paulus menyatakan: “Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakan, yaitu Yesus Kristus”. Dasar hidup orang Kristen adalah Kristus, dan ini yang menjadi titik tolak bagi orang Kristen menyikapi segala keadaan yang dihadapi dalam hidup ini. Kita tidak mungkin menggunakan diri manusia menjadi dasar, sebab manusia akan cenderung membalas kebencian dengan kebencian, permusuhan dengan permusuhan, pembunuhan dengan pembunuhan. Oleh karena itu, orang Kristen yang beriman kepada Kristus dasar hidupnya adalah Kristus, dan hanya Kristus yang bisa berkata: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Jadi cara pandang Tuhan kepada orang yang memusuhi ialah mengasihi. Cara pandang Tuhan kepada orang yang menganiaya orang Kristen ialah mendoakan.
Kalau Tuhan yang menjadi titik tolak atau dasar, maka bagi orang Kristen tidak ada tempat untuk melakukan prinsip “mata ganti mata”. Karena itu, Petrus mengingatkan orang Kristen: “janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu unuk memperoleh berkat” (ay 9). Orang Kristen ada di dunia ini untuk menjadi berkat bagi orang lain, makanya orang Kristen di berkati. Orang Kristen diberkati dalam hidup rumah tangga, pekerjaan, jabatan dan bisnis, agar menjadi berkat bagi orang banyak.
Supaya tidak membalas kejahatan dengan kejahatan dan hidup untuk menjadi berkat bagi orang lain, maka orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari sudah harus “seia, sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang, dan rendah hati” (ay 8). Kepribadian dengan karakter seperti ini orang Kristen di mungkinkan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, caci maki dengan caci maki serta dapat “menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (ay 10). Banyak terjadi konflik dan kejahatan dalam masyarakat, termasuk di antara orang Kristen, karena rasa seia sekata dan seperasaan, saling menyayangi dan mengasihi, serta sikap rendah hati sudah menjadi barang langka dalam hidup bermasyarakat. Maka betapa pentingnya hari ini orang Kristen, kata Petrus, “menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik. ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (ay 11).
Sikap saling membenci, saling mencaci maki, saling menjatuhkan, saling mendahulukan kepentingan, dan satu tidak senang dengan yang lain, akan terus mewarnai kehidupan masyarakat kita di waktu-waktu yang akan datang. Apakah orang Kristen dan secara khusus warga GKI di Tanah Papua juga ikut-ikutan dalam sikap yang jahat itu? Ataukah kita harus memperlihatkan diri dan tampil beda dengan yang lain, karena kita beriman kepada Kristus? Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk menggunakan cara pandang Tuhan dalam menyikapi kondisi sosial yang tidak menyenangkan. Memperhatikan orang yang baik, menolong orang yang minta tolong, tetapi tidak mengabaikan orang yang berbuat jahat. Kepada orang yang berbuat jahat, kita tantang dengan kasih dan kebaikan Tuhan, sebab “wajah Tuhan menantang orang yang berbuat jahat” (ay 12). Orang yang berbuat jahat bukan kita tantang dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Oleh sebab itu, kita patut menjauhkan diri dari sikap membalas kejahatan dengan kejahatan, membalas caci maki dengan caci maki. Tetapi marilah kita mengasihi musuh dan orang yang membenci kita, menjauhkan diri dari kejahatan dan mencari perdamaian. Itulah sikap orang Kristen, sikap warga GKI di Tanah Papua, menjadi berkat bagi orang banyak, menjadi pembawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di tengah masyarakat dan bangsa ini. Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)
Belum ada Komentar untuk "KASIH DAN DAMAI (I Petrus 3:8-12)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.