PENGUCAPAN SYUKUR SETELAH KEMATIAN (Mazmur 123:1-4)
Seorang ayah dengan anak lelakinya sedang dalam perjalanan ke kota. Mereka melihat satu pohon kayu yang tinggi di sebuah tebing. Keduanya berhenti dan sang ayah bertanya kepada anaknya. “Anakku? “Adakah pelajaran yang bisa kau dapatkan dari sebuah pohon?”. Anaknya ini berpikir dan kemudian menjawab: “Pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, pohon menjadi penyimpan air yang bersih, pohon menahan tanah agar tidak longsor, pohon menjadi penyeimbang kesejukan udara”. “Bagus”!!, ayahnya merespons. “Tapi ada hal menarik yang bisa disimak dari pohon ini”, lanjut sang ayah. “Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun pohonnya berada di tanah yang miring, pucuk pohon akan tetap lurus ke atas. Jadikan dirimu seperti pohon anakku, walau dalam keadaan apapun tetaplah lurus mengikuti cahaya kebenaran”.
Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, bisa jadi tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, tanjakan yang menguras energi, turunan yang melelahkan, belum lagi kerikil - kerikil yang yang mengganggu. Seperti dukacita yang terjadi saat kita kehilangan orang terkasih suami, ayah, saudara, sahabat, rekan sepelayanan. Tapi fakta sebuah pohon memberi pelajaran bagi manusia untuk tetap mengarahkan hidup kepada Tuhan selaku sang pencipta.
Mazmur 123:1-4 yang kita baca tadi adalah sebuah nyanyian ziarah. Martin Luther menyebut Mazmur ini dengan “rintihan hati yang terluka.” Pemazmur sedang berada dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan. Keadaan yang tidak menyenangkan itu digambarkan istilah “kenyang dengan penghinaan dan olok – olok”. Tapi dalam situasi menyakitkan itu, Pemazmur memohon belas kasihan Allah. Mata Pemazmur hanya terarah pada Tuhan. Fokus Pemazmur adalah Tuhan bukan pada situasi disekelilingnya. Itu digambarkan seperti para hamba senantiasa memandang pada tuan dan nyonya mereka (sang majikan). Dalam kehidupan Israel di masa itu, hamba atau budak adalah milik sang majikan. Pemazmur menyadari hidupnya sebagai hamba dan Tuhan adalah pemilik kehidupannya. Sebagaimana tuan akan memberi jaminan kehidupan dan keamanan bagi hambanya demikian juga Tuhan akan membelanya dan memberi ketentraman baginya. Pemazmur mengandalkan Tuhan dan meletakkan harapannya pada Tuhan. Ketika bersandar pada Tuhan, pemazmur menemukan kekuatan untuk menghadapi masalah dihadapinya sehingga ia sanggup berjalan tanpa terganggu dengan situasi disekelilingnya.
Bagian Firman Tuhan ini mengajak kita untuk memandang Tuhan dan menyerahkan kehidupan kita kepada-Nya. Kita belajar menempatkan diri kita di dalam tangan-Nya dan percaya bahwa Tuhan menyatakan belas kasihanNya pada kita saat kita sedang tertekan dengan situasi disekeliling kita. Tuhan menjadi sumber keselamatan. Tuhan menjadi Gembala Agung yang akan berkarya dalam kehidupan kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita sebab kesetiaan-Nya bersifat kekal.
Sebuah pohon tidak dapat memilih hamparan tanah seperti apa untuk menjadi tempatnya berpijak. Sebuah pohon tidak dapat mengubah struktur tanah disekelilingnya. Tapi dari dalam pohon itu sendiri selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu lurus mengikuti cahaya kebenaran. Bagaimanapun keadaan disekeliling kita. Dukacita yang sedang menghimpit kita. Kepergian orang terkasih, ayah, suami, saudara dan sahabat kita. Pada satu pihak kita bersyukur sebab ia telah terbebas dari penderitaan sakitnya tapi pada pihak lain hati kita pedih dan sesak karena ia tak lagi bersama kita. Raganya tak bisa lagi kita lihat. Kita hanya dapat menatap kursi tempat ia biasa duduk. Kita hanya bisa melihat baju yang biasa dipakainya. Kita hanya dapat mengingat setiap kenangan dan cinta darinya. Dan Ziarah kita didunia ini akan kita lanjutkan tanpa orang terkasih kita. Saat seperti ini marilah kita memandang pada Tuhan. Fokuslah pada Tuhan yang akan memulihkan duka tetapi tetap mematri cinta yang abadi. Sebab bukankah kematian sekalipun tidak dapat memisahkan kita dari cinta Tuhan? Jadilah seperti pohon besar yang menjadi kuat karena telah melewati kerasnya berbagai musim alam. Untuk menjadi besar dan kuat, sebuah pohon harus melewati panasnya sinar matahari, dinginnya air hujan dan kuatnya terpaan angin badai. Situasi sekeliling kita yang menyakitkan termasuk dukacita yang membawa kesedihan akan membentuk kita semakin kuat setelah melewati berbagai musim kehidupan. Sekeras apapun ujian kehidupan, seberat apapun kesedihan dan dukacita tetaplah letakan pengharapan kita di dalam Yesus. Ia penolong yang menghibur dan menyelamatkan kita. Istri dan keluarga yang ditinggalkan, mari tetap berpegang pada Tuhan agar kita teguh dan kuat dalam pengharapan. Pengaharapan di dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan. Dukacita menjadi sarana yang baik bagi setiap orang untuk menemukan penghiburan dan kasih Allah. Bersyukurlah untuk setiap kesempatan yang membuat kita dapat memandang pada Tuhan. Bersyukurlah untuk setiap proses yang membuat kita tetap terarah pada sang pemilik kehidupan. Ia bersama kita menapaki jalan – jalan ke depan yang penuh miteri. Ia menggenggam tangan kita dan memimpin arah perjalanan kehidupan. Ia bahkan menggendong kita saat kita tidak berdaya. PenghiburanNya berlimpah bagi keluarga dan kita sekalian. Amin. Tuhan memberkati.
Belum ada Komentar untuk "PENGUCAPAN SYUKUR SETELAH KEMATIAN (Mazmur 123:1-4)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.