MERATAP TAPI TETAP BERIMAN (Ratapan 5:1-10)
Hidup dalam derita. Hidup dalam
ancaman menimbulkan ratapan. Ratapan adalah ungkapan kesedihan yang mendalam. Seperti
derita karena Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Hari ini, tercatat di
Worldometer, penyebaran Covid-19 telah menginfeksi manusia di 210 negara dan
mencapai hampir 2.500.000 kasus serta menewaskan lebih dari 165.000 jiwa.
Pandemi ini menyebabkan duka yang
mendalam. Kehilangan orang – orang yang dikasihi dengan cara yang sangat
menyayat hati sebab kita tak dapat mendampingi jenazah hingga ke tempat
peristirahatan. Penyebarannya yang sangat cepat telah membuat Covid-19 menjadi
momok di seantero dunia karena telah mengobrak – abrik dimensi peradaban
manusia abad ini.
Hidup dalam derita, penindasan dan
ancaman juga pernah di alami oleh umat Israel yang ada di Yehuda. Ketika Yerusalem
jatuh ke tangan Babel. Bait Allah yang megah yang dibangun oleh Salomo,
dihancurkan. Umat dibuang ke Babel dan mengalami derita yang berkepanjangan.
Syair – syair dan nyanyian dalam kitab Ratapan ini menggambarkan suasana
penderitaan itu. Kitab Ratapan memang berisi ratapan – ratapan Yehuda yang
berdukacita karena hancurnya Yerusalem dan Bait Allah tahun 586 SM. Yerusalem
dilukiskan bagaikan seorang janda yang kesepian.
Bagian Alkitab bagi kita hari ini
yaitu Ratapan 5:1-10 berisi doa kepada Allah di tengah derita yang dialami.
Umat berdoa memohon belas kasihan Tuhan, agar Tuhan memulihkan hidup mereka. Penderitaan
yang dialami digambarkan dalam ayat – ayat bacaan kita. Milik pusaka dan rumah
jatuh ke tangan orang lain. Anak – anak menjadi yatim. Air harus dibeli. Roti
diperoleh dengan cara mengemis kepada Mesir dan Asyur. Bahkan ancaman maut
harus dihadapi umat. Semua kebanggaan dan kegirangan hati telah lenyap.
Umat meratap kepada Allah tetapi
bukan semata – mata ratapan kesedihan atau ratapan kemarahan. Ratapan ini
adalah sebuah ratapan penyesalan atas dosa. Umat mengakui bahwa penderitaan
mereka adalah akibat dosa. Karena dosa, Allah menghukum mereka dan membuang
mereka ke Babel. Umat menyadari bahwa mereka patut menerima derita sebagai
akibat hukuman Allah atas dosa. Karena itu umat memohon belas kasihan Allah: “Ingatlah
kami ya Tuhan” (ayat 1), “bawalah kami kembali kepadaMu”, “Baharuilah hari –
hari kami seperti dahulu kala” (ayat 21).
Umat memohon belas kasihan dan
pemulihan Allah. Umat meratap tapi bukan kehilangan harapan. Di balik ratapan
ini, ada keyakinan bahwa Allah sanggup memulihkan kehidupan mereka. Ada
dorongan semangat dan harapan bahwa di tengah – tengah penderitaan umat dapat
berjumpa dengan Allah dan mengenal Allah lebih sungguh. Umat mengakui
kemahakuasaan Allah yang tak terbatas. Dan belas kasihan Allah diyakini memberi
ruang bagi pemulihan yang dirindukan.
Konteks Israel yang menderita dalam
Ratapan berbeda dengan konteks penderitaan akibat Covid-19 saat ini. Tapi pengharapan
Israel kepada Allah dan sikap Israel dalam menghadapi penderitaan menjadi
pelajaran berharga bagi kita. Tetaplah menaruh pengharapan kepada Allah.
Berdoalah memohon belas kasihan dan pemulihan Allah. Derita memang menyakitkan
tapi meratap dalam keputusasaan membuat kita semakin terpuruk. Ancaman memang
menakutkan tapi iman kepada Allah membuat kita teguh.
Iman menuntun kita untuk bertanggung
jawab dalam kata – kata dan sikap agar tidak menjadi sandungan bagi orang lain.
Iman memandu kita agar tak egois dan menjadi penyebab derita bagi orang lain.
Iman membuat kita menjumpai Allah dalam derita dan memberi kesaksian tentang
Allah di tengah derita. Iman membawa kita pada penyesalan atas kehidupan agar kita
mengenal Allah dan Ia menyatakan belas kasihanNya untuk mengubah krisis menjadi
berkat. Meratap tapi tetap beriman. Tuhan memberkati.
Belum ada Komentar untuk "MERATAP TAPI TETAP BERIMAN (Ratapan 5:1-10)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.