SEJARAH PEKABARAN INJIL DI PAPUA (Part 3)
Pernakah kita mengetahui tentang mimpi yang dipendamkan oleh Ottow dan
Geissler saat menginjakan kaki mereka di atas negeri cenderawasi, bahwa suatu
ketika nanti di atas negeri yang penduduknya berkulit hitam dan berambut
keriting, akan lahir sebuah Gereja yang Injili dan Oikumenis? Dan apakah kedua
rasul itu yakin bahwa kelak Gereja yang Injili dan Oikumenis itu akan
melanjutkan visi dan misi penginjilan mereka?
Tentu saja mimpi seperti itu tidak tersurat dalam catatan-catatan mereka
yang ditinggalkan kepada kita, melainkan tersirat dalam kesetiaan dan karya
mereka kepada Allah yang hidup. Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua adalah
Gereja yang Injili dan Oikumenis sejak dulu (1956) sampai sekarang dan bahkan
waktu yang akan datang, selagi Allah berkenan. Ia akan tetap menjadi Gereja
yang Injili dan Oikumenis!.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin maju pesat di
segala bidang hidup maka pluralitas sosial, etnis dan budaya adalah eksistensi
hidup GKI Di Tanah Papua. Pulau di ujung Timur Indonesia ini mengundang
kemajemukan agama pada satu pihak dan kekristenan di pihak lain, dengan
berbagai panorama dogmanya.
GKI Di Tanah Papua merupakan Gereja tertua yang tetap mengembang tugas
panggilannya, bersekutu, bersaksi dan melayani, baik secara internal dan
eksternal sebagai bukti identitasnya yang Injili dan Oikumenis. Medan pelayanan
GKI Di Tanah Papua begitu luas dan sulit, yang meliputi
daerah pesisir pantai utara, pantai selatan, ujung barat kepala burung, ujung
timur yang berbatasan dengan PNG dan daerah-daerah pegunungan menjadi panggung
penginjilan, baik di waktu yang lalu maupun di waktu sekarang ini.
Daerah-daerah suku terasing, daerah-daerah terpencil, pinggiran kota dan
daerah perkotaan dijadikannya sebagai basis penginjilan prioritas. Gereja ini
tidak pernah tinggal diam dan berlipat tangan terhadap penginjilan di atas
tanahnya, melainkan ia ekstra aktif dalam menciptakan program-program,
rencana-rencana strategis dan langkah-langkah penggalangan dana bagi kerja
penginjilan. Hal ini memberi warna kuat bahwa GKI Di Tanah Papua adalah Gereja
yang Injili untuk menginjili.
Masuknya Injil di tanah Papua (Mansinam,1855) merupakan anugerah Allah yang
tak terhingga. Dulunya Papua gelap kini menjadi terang, dulunya tidak beradab
kini menjadi beradab, Papua yang dulunya dianggap rendah, kini
sejajar dengan dunia lain. Semuanya ini tidak terlepas dari kerja keras dua
rasul Papua, Ottow dan Geissler. Atas tuntunan Roh Kudus, sebagai motivator Ilahi,
mereka membawa Injil masuk bumi cenderawasih, sebagai wujud implementasi Amanat
Agung Yesus Kristus yang terdokumentasikan dalam kitab Injil Matius 28:19-20.
“Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia..”, demikian kata
rasul Paulus dalam suratnya (Rum. 1:16). Tidak ada kuasa lain yang dapat
membatasi ruang dan waktu eksistensinya. Injil membuat yang tidak mungkin
menjadi mungkin di atas tanah Papua. Hadirnya Injil di tanah Papua (1855) yang
mengakibatkan banyak martir dan lahirnya GKI di Tanah Papua (1956), yang
walaupun pada waktu itu sangat prematur, merupakan bukti kongkrit dari kuasa
Injil Kristus itu.
Penginjil tukang, Ottow dan Geissler, dan selanjutnya bersama Pdt. F.J.L
van Hazelt, Jesrick, Bink, Wolders dan jajaran zendeling UZV lainnya yang
melanjutkan pekerjaan zending tukang, serta kemudian guru-guru Ambon, Sanghie
dan anak-anak asli negeri Papua, sangat memberikan kontribusi penting
bagi berdirinya GKI Di Tanah Papua. Pdt. J. Mamoribo, dalam
bukunya yang berjudul “Ottow dan Geissler (Rasul Papua Barat)”,
menegaskan bahwa nama Ottow dan Geissler selalu disebut-sebut sebagai
pelopor, perintis, yaitu pada waktu memperingati Injil masuk di Papua (1855)
dan GKI Di Tanah Papua berdiri sendiri pada tanggal 26 Oktober 1956.
Para zendeling dipandang sebagai pemberani,
pahlawan-pahlawan yang tidak menyerah dalam memberitakan Injil. Injil adalah
suatu “kebutuhan primer” yang wajib ditanamkan dalam segenap hidup orang Papua.
Apa pun alasannya, susah maupun senang, Injil tetap diberitakan oleh zendeling
dan suka atau pun tidak suka orang Papua harus menerimanya. Para zendeling
memiliki kerinduan besar disertai kesetiaan kerja untuk membangun
orang Papua; menjadikan mereka manusia Injili yang bersatu dalam persekutuan
gereja yang Injili di atas tanah yang dibaptis dengan Injil.
Ottow dan Geissler, ketika sebelum mengikrarkan
“kredo Mansinam”, In Gotes Name Betraiten Wir Das Land (Dalam
nama Tuhan kami Menginjak Tanah ini), ada sebuah doa mendahului kredo itu,
yang dapat dikatakan, sebagai “doa ketika fajar mereka” : “kiranya
terang Matahari yang sebenarnya menerangi orang-orang Papua yang hidup dalam
kegelapan kekafiran itu….”; begitu juga suatu harapan dari Ottow dalam
hidupnya ia selalu berkata : “O, sungguh besar rasa bahagianya kalau di
sana (sorga) dapat kita menemukan satu jiwa (orang Papua) yang telah menjadi
selamat melalui usaha kami!”.
Semua ucapan itu merupakan suatu doa pengharapan
bahwa ketika tertentu orang-orang yang mendiami pulau Papua akan menjadi
manusia Injili yang menginjili bagi Tuhan. Dengan semangat penginjilan yang
besar, UZV melanjutkan semua pekerjaan PI di tanah Papua yang ditinggalkan
Ottow dan Geissler. Lembaga zending ini begitu serius memberi
perhatian terhadap kekristenan dan kesejahteraan orang-orang Papua (walaupun
memang pernah beberapa kali ia ingin tidak melanjutkan penginjilan di Papua,
antara lain 1864 dan 1870).
Pertama-tama UZV mengutus tiga orang zendeling
masing-masing Van Haasselt, Klaassen dan Otterspoor dan kemudian utusan-utusan
zending lainnya. Proses pengiriman tenaga-tenaga zending UZV berjalan terus
sejak tahun 1863-1956.
GKI Di Tanah Papua mendeklarasikan dirinya
sebagai Gereja yang berdiri sendiri tidak terlepas dari sejarah zending di
Papua. Sejarah Zending di tanah Papua dan sejarah Gereja Kristen Injili Di
Tanah Papua merupakan satu mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan satu dan lainnya. Pendeta F.J.S. Rumainum menegaskan “….GKI yang berdiri sendiri itulah hasil
karya Zending selama satu abad di Irian Barat yakni 1855-1956”.
Jika masuknya Injil Kristus di tanah Papua
merupakan anugerah Tuhan yang besar, maka berdirinya GKI Di tanah Papua pun
adalah anugerah pemberianNya. Sejarah lahir, bertumbuh dan berkembangnya GKI Di
Tanah Papua, pada prinsipnya dipahami dengan mata iman kita bahwa semuanya ada
di dalam bingkai rencana dan rancangan Allah yang istimewa. Rencana
dan rancangan berdirinya GKI ini, dipersiapkan Allah melalui para utusanNya
(zendeling) yang benar-benar mencintai orang Papua, setia bekerja dan mengenal
betul kehidupan budaya orang Papua.
Menuju pada lahirnya GKI Di Tanah Papua, proto
synode (sinode persediaan) dilangsungkan di Serui tahun 1954.
Pendeta I.S.Kijne dan beberapa rekan kerjanya mempunyai andil besar dalam
penyusunan landasan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua. Perihal pembentukan
GKI Di Tanah Papua, Kijne lebih mengutamakan hal Persekutuan dan Persatuan
sebagai suatu nilai yang penting untuk dijaga dan dipertahankan.
Hal ini jelas tergambar pada Tata Gereja GKI
tahun 1956 Bab I pasal 1 “Gereja Kristen
Injili di Nederlans Nieuw Guinea mengaku bahwa ialah persekutuan
segala jemaat Kristen yang menurut panggilan Tuhan dibangunkan di atas alas
segala Rasul dan Nabi-Nabi dan yang
batu penjurunya ialah : Yesus Kristus sendiri (Ef.2:20)”.
Tentu saja isi dari bab I Tata Gereja GKI di
atas ini, merupakan suatu pergumulan historis-teologis yang panjang dalam
sejarah pekabaran Injil di tanah Papua. Mengapa? Karena upaya menghimpun dan
merukunkan jemaat-jemaat ke dalam satu persekutuan tubuh Kristus berlangsung
selama satu abad lebih. GKI Di Tanah Papua menjadi Gereja secara mandiri setelah seratus tahun
zending. Pergumulan historis yang amat lama ini disebabkan karena kondisi
sosial dan kultur serta karakter masyarakat Papua yang beraneka ragam. Selain
itu, taraf kehidupan orang Papua yang belum maju dan berkembang secara merata.
Konsep berpikir I.S. Kijne untuk menuju pada suatu gereja yang Injili dan
oikumenis itu, sebenarnya tergambar jelas pada karyanya. Ia memiliki kesetiaan
bekerja yang sungguh luar biasa di tengah-tengah kehidupan orang
Papua. Pendidikan menjadi prioritas utama baginya untuk mendidik
anak-anak negeri ini. Saat tiba di Papua, Kijne mengajar di Mansinam (1923), di
Miei (1925),di Yoka (1948-1951) dan menjelang terbentuk dan sesudah
terbentuknya GKI, ia mengajar di Sekolah Teologi di Serui (1955-1958). Baginya
pendidikan merupakan wadah yang strategis demi pembentukan manusia Papua yang
Injili dan Oikumenis.
Terbukti anak-anak didiknya (M. Abaa, B. Burwos, F. Huwae, M.
Inauri, S. Liborang, J. Mandowen, H. Marimosendi, E. Osok dan M. Sada) yang pada akhirnya memiliki paham
kebersamaan itu duduk dan menyetujui pembentukan sebuah Gereja yang
mempersatukan semua orang, semua suku di Papua dalam satu Gereja yang diberi nama
Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (dulu= GKI di Nederland Nieuw
Guinea) pada konferensi zendeling di Serui 1951.
Eksistensi GKI Di Tanah Papua pada prinsipnya merupakan
rancangan istimewanya Allah. Semua orang Papua dari berbagai suku dipanggil dan
dihimpunkan menjadi satu dalam satu persekutuan yang harmonis sesuai landasan
Alkitabiah (Yoh. 17:21).
Terbentuknya Gereja ini bukan dari kehendak nasionalisme etnis (faham
kesukuan) suatu suku tertentu, bahkan bukan suatu kehendak politis, melainkan
kehendak Tuhan yang besar. Karena itu, hadirnya GKI di Tanah Papua sejak tahun
berdirinya sungguh memiliki andil sebagai sabuk pengaman kekristenan
di Papua sampai dewasa ini.
GKI Di Tanah Papua hadir sebagai institusi untuk menummbuhkan
Injil yang sekian lama ditaburkan oleh zendeling agar selalu berakar dan
bertumbuh subur serta menghasilkan buah yang lebat. Dengan demikian,
permusuhan, peperangan antar suku, penjual-belian budak dan sebagainya menjadi
hilang; lalu diganti dengan pola hidup Injili berdasarkan kasih Kristus, Kepala
Gereja. _Bersambung Part 4_
Belum ada Komentar untuk "SEJARAH PEKABARAN INJIL DI PAPUA (Part 3)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.