RIWAYAT HIDUP MISSIONARIS OTTOW DAN GEISSLER (Part 2)
Pada tanggal 30 Mei 1854 Ottow dan Geissler tiba di
Ternate, mereka menumpang dirumah Pdt. J. E Hoveker, yang sudah sejak tahun
1833 menjadi Pendeta di satu jemaat di sana. Rumah pdt. Hoveker dijadikan
sebagai tempat penampungan para pekabar Injil dari dan ke Papua. Disini Ottow
dan Geissler bertemu dengan tuan Duivenbode (Pemilik kapal Sekunar)
yang melayani kepulauan Maluku dan Papua untuk maksud perdagangan. Pdt.
Hoveker-pun berkeberatan karena besarnya resiko dan tidak ada perlindungan dari
pemerintahan abgi Ottow dan Geissler. Tetapi dengan kemauan keras Ottow dan
Geissler tetap melaksanakan niat mereka. Bagi mereka itu merupakan kehendak
Tuhan, sehingga mereka tetap ke Papua. Tekat itu begitu kuat, sehingga Pdt. Hoveker
menulis: “Bahwa Ottow dan Geissler sudah
merasa yakin bahwa Tuhan berkehendak ke Papua maka, saya pun merasa demikian,
sebab seandainya segala keberatan dan berita negatif yang mereka dengar pastilah mereka menerima anjuran dan
nasehat saya”.
Pertimbangan lain adalah mengenai tempat dimana mereka
akan menetap, maka Teluk Doreh sebagai tempat tinggal, karena daerah itu sangat
strategis dan terlindung dari angin pada segala jurusan. Penguasa (Residen
Ternate dan Gubernur Maluku) ternyata menyetujui pula daerah tersebut sebagai
tempat tinggal kedua pekabar tersebut itu, bahkan Pdt Hoveker menyebutkan
adanya harapan bahwa pemerintah tidak lama lagi akan mendirikan pos
disana, sehingga demikian keberatan yang berhubungan keselamatan dan sepenuhnya
ditiadakan.
Kesediaan dan kerja sama Residen dan Gubernur sangat di
butuhkan oleh kedua pekabar Injil tersebut, karena dengan begitu mereka bisa
mendapat surat izin dari Sultan Ternate untuk maksud perjalanan ke Papua.
Sultan Ternate adalah seorang muslim (Islam), sehingga Residen menilai bahwa ia
tentu tidak suka kepada dua orang pekabar Injil ini ke Papua, maka
tidak memberikan izin kepada mereka. Agar tidak diketahui indetitas mereka maka
ia mengemukakan seolah-olah kedua orang muda tersebut yaitu Ottow
dan Geissler disebutlah peneliti ke daerah Papua.
Walaupun ada unsur rekayasa namun hal itupun kemudian
diketahui juga Sultan, tetapi Sultan tidak bereaksi apa-apa malah
berkaitan ia agaknya sambil tersenyum :Ah mereka ini akan penginjil dan didalam
surat ijin yang diberikan kepada mereka tampa kerbratan apa-apa dia
menulis “Pendeta atau penginjil”. Sultan juga menulis surat kepada
Korano (Kepala Kampung) di Mansinam agar setibanya kedua pekabar Injil itu
mereka dapat dilindungi bahkan bila kekurangan makanan mereka dapat dibantu.
Kita mendapat kesan bahwa orang-orang kristen di
Ternate membayangkan kehidupan Papua sebagai pertualangan yang romatis. Seorang
guru bahkan memberi izin kepada anak lelakinya Frits (12 tahun) untuk bersama
Ottow dan Geissler lebih meyakinkan jaminan keselamatan dan penyertaan Allah,
sehingga dalam catatan hariannya Ottow menulis: Hanya seperti diduga orang
tidak ada disana, seandainya penduduk diperlakukan dengan baik, mereka akan
berbuat baik pula bagi kami. Ia mengungkapkan bahwa Allah adalah pokok
kekuatan yang telah menaklukan Goliat di depan Daud kini masih hidup. Dialah
yang akan mengangkat bagi kamu batu rintangan terberat dan membimbing kepada
yang baik.
Pada tanggal 12 Januari 1855, perjalanan menuju Papua
di mulai. Kedua Perintis yakni Ottow dan Geissler dengan sekunar
Ternate menuju masa depan mereka dengan diperlengkapi barang-barang bawaan
secukupnya. Perjalanan Ternate Ke Papua di tempuh kurang lebih tiga minggu,
yaitu 25 hari kemudian Ottow dan Geissler memasuki teluk Doreh.
Tepat tanggal 5 Februari 1855 hari minggu pagi yang
cerah, jam 06.00 kapal Ternate membuang sauhnya di depan kampung Mansinam
pelabuhan Doreh. Untuk mengungkapkan rasa suka cita itu, Geissler menuliskan
kepada Bapak Gossner “Anda tak dapat membayangkan, betapa besarnya rasa
sukacita kami bahwa pada akhirnya tanah tujuan terlihat. Matahari terbit dengan
indahnya, Ya semoga matahari yang sebenarnya menyinari kami dan
orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana didalam
kegelapan. Semoga sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat
Gembala-Nya yang lembut”
Dengan sekoci pertama menuju daratan
ditumpangi Ottow dan Geissler ke pantai Mansinam. Sebagai pekabar injil yang
sungguh-sungguh telah menyerahkan diri untuk bekerja bagi orang kafir, maka hal
pertama yang mereka dua lakukan adalah mengucapkan pernyataan “
Dengan nama Tuhan kami menginjakan kaki di Tanah ini” Dengan kata
kata itu keduanya menginjakan kakinya diatas bumi Papua.
Di dalam rimbunan semak belukar mereka dua segera berlutut
dan berdoa kepada Tuhan. Isi doa secara lengkap kita tidak ketahui, namun
menurut F.C. Kamma, mereka berdoa kepada Tuhan untuk mendapat kekuatan,
Tenaga, Terang dan bijaksana, agar semua dapat dimulai dengan
sungguh-sungguh baik, dan agar Tuhan sudi menaruh belas kasihan kepada
orang-orang kafir yang malang itu.
Untuk sementara mereka dua menempati bangunan bekas ”gudang
barang milik Deyghton” nakoda kapal Rembang yang sangat dihormati dan di segani
oleh penduduk di daerah pesisir pantai teluk Doreh dan sekitarnya. Dengan pernyataan
serta doa yang diucapkan tersebut maka, pekabaran injil di Papua dimulai, dan
sejak itu Ottow dan Geissler membuka Mansinam sebagai pos pekabaran injil
pertama.
Setelah dua tahun kemudian (1857) Ottow membuka pos
pekabaran Injil kedua di Kwawi daratan Manokwari, sedangkan Geissler meneruskan
pekerjaan di Mansinam. Kontak pertama dengan masyarakat sama sekali belum
tampak, karena kedua pekabar Injil itu selain mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi, tetapi juga belum membuka diri mengadakan hubungan dengan
penduduk. Pada hal satu pendekatan utama untuk memahami latar belakang budaya,
adat istiadat, kebiasan dan lain-lain. Maka harus mendatangi orang itu lalu
membiarkan diri ditanyai, anda darimana dan mau kemana. Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini memberikan gambaran tentang struktur hidup dan pola berfikir orang
papua didalam “agama suku”.
Didalam kepercayaan agama suku, orang Papua
menganggap bahwa orang putih adalah orang mati yang bangkit kembali.
Apalagi ketika Ottow dan Geissler turun dengan barang-barang bawaan yang
banyak, walaupun kita ketahui bahwa para pekabar Injil itu miskin dan semua
yang dibawa itu diperoleh dari uang hasil pemberian atau sokongan, tetapi di mata
orang Papua mereka adalah orang-orang terkaya yang pernah hidup di Mansinam.
Mereka ini adalah orang yang datang dari tempat kematian (perut bumi) membawa
banyak barang.
“PERIODE
PEKABARAN INJIL DI TANAH PAPUA”
I. Perintisan dan permulaan pekabaran injil
(1855-1863)
II. UZV memperluas pekerjaan dari
Gossner yang di rintis Ottow dan Geissler (1863-1907)
III. Pembentukan resort-resort (1907-1924)
IV. Resort dan jemaat-jemaat di intesifkan
(1924-1942)
V. Masa PD II Masa pencobaan dan ujian
(1942-1945)
VI. Pembangunan Kembali “Pembentukan jemaat,
Klasis dan Resort dan persiapan menuju GKI yang berdiri sendiri”(1945-1956).
Konfrotasi Injil
Dan Kebudayaan
Dalam pengalaman sejarah Pekabaran Injil di Tanah
Papua, di berbagai tempat terjadi pengalaman-pengalaman bahwa pada permulaan
abad ke-20, sewaktu mulainya gerakan peralihan kepada kekristenan, unsur-unsur
budaya mengalami tantangan berat karena dianggap unsur-unsur kafir yang patut
ditiadakan. Sikap konfrontatif (pertentangan) sesungguhnya bukan berasal dari
masyarakat pemilik kebudayaan, tetapi bersumber dari para pekabar Injil. Akibat
dari pandangan yang keliru terhadap kebudayaan menyebabkan terjadinya
pergeseran nilai yang menimbulkan krisis identitas budaya. Ketika nilai-nilai
budaya setempat mengalami Infansi oleh nilai-nilai baru dari luar, sehingga
terjadi benturan-benturan nilai antara yang lama dan baru. Biasanya nilai-nilai
baru dari luar dianggap lebih kuat dan unggul terhadap nilai-nilai setempat.
Kadangkala terjadi bahwa akibat dari benturan-benturan nilai itu, orang
kehilangan pegangan hidup. Misalnya dengan dimusnahkan unsur-unsur budaya
sehubungan dengan penerimaan Injil oleh suatu kelompok sosial, tanpa disadari
atau tidak, lama-kelaman menggoncangkan seluruh sistem masyarakat, yang
dipegang teguh dan yang telah berurat dan berakar.
Ottow dan Geissler mengamati dan mencatat apa yang
mereka temukan disana, dengan pola pendekatan adaptasi yaitu dengan metode yang
di dalam Antropologi budaya “obserfasi dan partisipasi” dengan pola pendekatan
tersebut ottow dan Geissler mengerti kebudayaan, adat, perilaku hidup penduduk
setempat yang dikabari Injil.
1. Tahun 1856, telah dimulai untuk pertama kali
kebaktian hari minggu dalam bahasa Melayu yang dilakukan dua kali pagi dan
sore.
2. Tahun 1857 mereka berhasil menyusun sebuah
buku nyanyian dalam bahasa Numfor. Dengan karangan buku nyanyian tersebut
menunjukkan suatu prestasi dibidang bahasa. Demikian juga terjemahan Alkitab
dimulai: kitab Injil Matius, Markus, buku katekismus, dan kamus berbahasa
Nufor. Disamping itu pendidikanpun dimulai, sekolah zending pertama dimulai di
Mansinam (1857). Kemudian disusul sekolah Zending kedua di Kwawi.
3. Tahun 1867 sekolah sending ketiga dibuka
di Meoswar dan dua tahun berikutnya 1869 satu sekolah lagi dibuka di Andai.
Dengan demikian beberapa daerah tertentu dibuka
sekolah-sekolah Zending bersama dengan pembukaan pos-pos PI yang baru antara
lain pembukaan sekolah di Maomi-Ransiki (1874), di pulau Roon (1883), dan pada
tahun 1897 di buka satu sekolah khusus untuk anak-anak pedalaman dari suku
Hatam dan Meyach di Amban Manokwari. ..._bersambung Part 3_
Puji Tuhan....
BalasHapusAmin !!!
Hapus