PAPEDA - PAPUA PENUH DAMAI - YANG TERKOYAK
Papeda adalah makanan tradisional yang
terbuat dari tepung Sagu. Di wilayah Indoenesia Timur seperti Maluku dan Papua,
papeda adalah menu wajib yang selalu disajikan dalam berbagai acara. Sudah
menjadi tradisi turun temurun, papeda disajikan sebagai makanan yang dinikmati dalam
rasa kekeluargaan entah sebagai menu santap siang satu keluarga, atau dalam
pertemuan keluarga besar, juga ketika menyambut tamu bahkan dalam acara – acara
adat dan acara – acara penting pemerintahan. Rasanya kurang lengkap jika menu
makan bersama tidak ada papeda. Dan belum komplit juga bila anda mengunjungi
Papua lalu belum mencicipi papeda. Papeda kini telah menjadi salah satu warisan kuliner
Nusantara yang khas.
Sagu bahan asal papeda merupakan makanan
pokok bagi masyarakat Papua. Sagu
merupakan tepung yang didapat dari batang pohon Sagu. Pohon sagu kerap tumbuh
di tepian sungai atau wilayah lain dengan kadar air yang cukup tinggi seperti
rawa dan semacamnya. Tinggi pohon sagu mencapai 30 meter. Satu pohon Sagu dapat
menghasilkan 150 hingga 300 kilogram tepung sagu. Batang
pohon sagu yang berusia bertahun-tahun tersebut akan diparut dan diambil sari
patinya menjadi tokok sagu yang terlihat seperti tepung. Kemudian tepung Sagu
itulah yang diolah menjadi Papeda. Tepung sagu dapat ditemukan dengan mudah di pasar – pasar dekat
pemukiman warga di Papua.
Cara membuat papeda adalah menyaring
tepung sagu dan kemudian air
yang sudah dipanaskan mendidih dituangkan ke dalam tepung sagu sambil diaduk
sampai mengental dan terjadi perubahan warna, yaitu dari putih menjadi bening dan
lengket seperti lem. Sepasang sumpit/garpu atau “gata – gata” digunakan untuk mengambil dan menyantap papeda.
Caranya dengan menggulung-gulung papeda melingkari “gata”, lalu diletakkan di piring.
Papeda disantap dengan ikan kuah kuning,
sayur ganemo – sayur yang diolah dari daun melinjo muda -, sayur kangkung bunga
pepaya dan berbagai sayuran khas dari Papua. Ikan kuah kuning dan sayur membuat
papeda memiliki rasa. Sebab apabila papeda disantap begitu saja rasanya hambar.
Tak perlu dikunyah, menyantap papeda
dapat langsung diseruput dan ditelan.
Papeda mengandung banyak nutrisi yang
bermanfaat untuk kesehatan. Tepung sagu sendiri mengandung karbohidrat yang
cukup tinggi. Lalu ada pula kandungan lain seperti protein, lemak, kalsium,
fosfor, dan zat besi. Apabila dikonsumsi dengan sayur, maka papeda sangat
tinggi serat. Papeda dipercaya bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi
risiko kanker usus dan paru-paru, mengurangi risiko kegemukan atau obesitas,
memperlancar buang air besar, serta aman untuk penyandang diabetes karena
indeks glikemik yang rendah.
Sebagai
makanan tradisional yang khas, papeda menyimpan riwayat sejarah. Masyarakat adat
Papua begitu menghormati sagu lebih dari sekadar makanan lezat. Suku-suku di Papua
mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan manusia. Oleh masyarakat Raja
Ampat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang begitu istimewa. Itulah sebabnya,
saat memanen sagu mereka menggelar upacara khusus sebagai rasa syukur dan
penghormatan akan hasil panen (sagu) yang melimpah yang dapat memenuhi kebutuhan
seluruh keluarga.
Papeda bukan hanya makanan khas yang enak
dan gurih tapi juga papeda memiliki arti yang sangat bermakna bagi masyarakat di
Papua. Anak Papua belajar makan dengan makan Papeda biasanya disuap bukan hanya
oleh ibunya sendiri tapi juga oleh nenek, mama ade atau tante. Anak Papua
belajar tentang identitasnya dari kehidupan keluarga besar yang menjadikan
makan papeda sebagai makanan bersama dalam keluarga. Papeda adalah simbol
pemersatu bagi keluarga dan masyarakat Papua.
Di
Waropen, papeda dinikmati bersama dalam satu loyang “sempe” dan setiap orang memegang “gata” sendiri lalu mengambil papeda dari loyang “sempe” yang sama. Semua yang makan
papeda akan duduk bersama tanpa merasakan perbedaaan satu dengan yang lain. Ada
kebiasaan untuk saling memanggil saudara, anak atau tetangga untuk makan
papeda. “Mari kitong makan papeda - dalam Bahasa Waropen “Mindamao kana wiwiro” - Karena memang papeda tidak nikmat jika dimakan
sendiri. Papeda justru terasa nikmat karena dinikmati bersama sambil berkelakar
atau berdiskusi tentang berbagai topik. Persaudaraan dan kekeluargaan begitu
kental terasa dalam setiap acara makan papeda. Tiap orang menikmati enaknya
papeda sekaligus indahnya persaudaraan dan damainya kehidupan bersama.
Di kemudian hari, masyarakat Papua memberi
arti khusus untuk papeda. Papeda kepanjangannya “PApua PEnuh DAmai”.
Ini muncul dari Filosofi Papeda di tengah masyarakat Papua. Papeda membuat
masyarakat di tanah Papua menjadi satu meski memiliki 250 – an suku yang
berbeda. Papeda juga menyatukan orang Papua dengan suku – suku lain di luar
Papua yang telah menjadi keluarga dan bagian hidup orang Papua. Ketika mereka duduk makan papeda bersama maka
ipar, tetangga, sahabat, kenalan, teman meskipun bukan orang asli Papua tapi
telah menjadi satu keluarga. Masalah – masalah yang telah diselesaikan secara
kekeluargaan juga diakhiri dengan makan papeda bersama.
Filosofi Papeda begitu mendalam. Mengolah pohon
sagu bersama sudah memberi pesan tentang bekerja sama, saling menolong,
bergotong royong dan saling peduli. Menikmati Papeda bersama tanpa perbedaan
memberi pesan luhur tentang kebersamaan hidup dalam damai. Papeda membuat
masyarakat Papua dapat memperkenalkan kekayaan alamnya bagi dunia. Papeda
menjadi simbol hakiki orang papua yang cinta alam dan cinta kedamaian.
Tapi kini PAPEDA telah terkoyak atau
dikoyakkan oleh sentimen rasisme. Di Surabaya terjadi penggebrekan Asrama
Mahasiswa Papua oleh ormas dan segelintir orang yang terpancing isu bahwa
bendera Merah Putih di robek dan dibuang ke selokan. Aparatpun turun tangan. Mahasiswa
Papua mengalami persekusi dan rasisme. Sebutan “monyet” dan teriakan “usir
Papua” dilontarkan dari mulut – mulut yang otaknya tak lagi bernalar dan
hatinya telah mati. Betapa sakitnya disebut demikian oleh sesama manusia yang
sama – sama diciptakan Tuhan. Betapa
perihnya mengalami perlakuan seperti itu dalam bingkai negara sendiri. Betapa
pedihnya mengalami diskriminasi oleh mereka yang di Tanah Papua dipandang
sebagai saudara sendiri dan diterima dengan tulus. Maka Papua bergolak Luka
lama yang sesungguhnya belum sembuh akibat sejarah masa lalu kemudian meradang
kembali.
Peristiwa di Bulan Agustus bulan Kemerdekaan
Republik Indonesia itu mengoyak kedamaian di Papua. Beberapa kota di Papua dan
Papua Barat bergejolak dan panas membara. Ada yang berdemo dengan damai seperti
di Jayapura. Masyarakat turun ke jalan melakukan long march dari Abepura ke
Kantor Gubernur Papua yang berjarak hampir 20 Km. Tapi ada juga yang berdemo lalu
tersulut emosi hingga melakukan aksi pembakaran dan pengrusakan seperti yang
terjadi di Manokwari, Sorong dan Fak - fak. Seantero negeri tersentak kaget,
sedih, marah tapi juga prihatin. Dalam sekejap Kasus Papua menjadi viral di di
dunia nyata maupun dunia maya.
Dunia
dan manusia yang mempunyai hati nurani mengutuk rasisme. Rasisme berlawanan
dengan Filosofi Papeda di Papua. Sungguh sedih menyaksikan PAPEDA : Papua yang
penuh damai terkoyak karena rasisme dan persekusi. Sungguh geram memikirkan
senyuman dan tawa puas para provokator yang berhasil mengoyak PAPEDA : Papuaku
yang penuh damai. Strategi tangan – tangan tak kelihatan untuk menyulut “api” kebencian
dan amarah di Papua kelihatannya cukup berhasil karena menyentuh esensi yang
paling hakiki dari manusia yaitu harga diri. Sesungguhnya rasisme, persekusi
dan diskriminasi memang harus ditumpas bukan terhadap orang Papua saja
melainkan terhadap siapapun manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan
Allah. Terkutuklah mereka yang telah membuat PAPEDA menjadi terkoyak.
Namun
dengan doa dan hati yang berpengharapan pada Tuhan, kami tetap percaya bahwa
Tuhan mempunyai rencana atas Papua. Tuhan sanggup memulihkan Papua dengan
kuasa-Nya. Menyebut Papua berarti menyebut Injil. Tanah Papua sudah dimenangkan
oleh Injil Kristus. Hati orang Papua adalah hati Kristus. PAPEDA adalah jati
diri Papua. Badai kaan berlalu. Rencana Tuhan bagi Papua akan nyata. Dan hati
ini tetap menyimpan kerinduan, suara merdu Mama yang memanggil keluarga besar :
“Mari
tong makan papeda”. Tuhan memberkati
#savepapuasurgakecilyangjatuhkebumi
#savepapuatanahInjil
#savePAPEDA_PApuaPEnuhDAmai
Belum ada Komentar untuk "PAPEDA - PAPUA PENUH DAMAI - YANG TERKOYAK"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.