BERTEOLOGI DALAM GKI DI TANAH PAPUA (Lukas 6:46-49)
Jika
kita membangun sebuah rumah maka yang dibangun terlebih dahulu adalah
fondasinya. Di atas fondasi itulah, rumah akan didirikan. Semakin
kokoh fondasi semakin kuat rumah yang dibangun itu. Selain itu, kita juga harus
memperhatikan cara membangun. Fondasi boleh kuat, bahan-bahan bangunan dari bahan
kelas satu, namun kalau cara kita membangunnya tidak benar, cara membangunnya
asal – asalan maka bangunan itu juga akan mudah roboh.
Pokok tentang 2 macam dasar yang menjadi
bagian pembacaan kita ini adalah rangkaian
pengajaran Yesus kepada para murid-Nya. Yesus hendak membongkar kepalsuan dari
banyak orang yang selalu mendengar khotbah/pengajaran Yesus. Orang berbondong –
bondong datang kepada Yesus tetapi
mereka hanya mendengar.
Ada tiga hal yang hendak disampaikan
dari bagian ini :
1.
Hakekat
menjadi murid
Yesus menegaskan bahwa mendengar saja
belum cukup. Memang mendengar itu penting. “Barangsiapa bertelinga hendaklah ia
mendengar”. Tapi mendengar saja belum cukup.
Mendengar saja ibarat mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Dalam
Matius disebutkan: ibarat mendirikan rumah di atas pasir. Murid Tuhan yang
sejati adalah yang mendengar dan melakukan perkataan-Nya.
2.
Proses
yang dijalani
Proses membangun rumah diatas tanah
tanpa dasar, lebih mudah dan cepat. Sedangkan rumah yang dibangun dengan
fondasi: ayat 48 menyebutkan : “orang harus menggali dalam – dalam”.
Prosesnya lebih menguras energi dan waktu tetapi hasilnya lebih kuat dan kokoh.
Murid Tuhan yang sejati dibentuk melalui proses, meskipun sukar tetapi selalu
tahan uji.
3.
Realitas
yang dihadapi.
Air Bah dan banjir dapat mengancam
tetapi dasar yang kuat, proses yang benar maka rumah kehidupan kita akan tetap
kokoh dan kuat menghadapi realitas apapun.
Selama beberapa hari ini, kita
telah bergumul, berbagi, bertukar pikiran dalam Konsultasi Teologi dan Liturgi GKI Di
Tanah Papua. Pesan Firman Tuhan dari bacaan Alkitab ini bagi kita yakni:
1.
Fondasi
membangun rumah kehidupan kita masing – masing dan dasar berteologi GKI Di
Tanah Papua adalah Firman Tuhan. Kita sedang membangun di atas dasar yang sudah
ada. Kita bukan membongkar fondasi. Karena itu bangunan kehidupan kita dan
bangunan berteologi kita adalah dalam rangka “mendengar dan melakukan”. Jadi bukan hanya berbicara dan berteori
saja tapi penerapan dalam perjumpaan yang nyata pada konteks GKI Di Tanah
Papua. Bukan latihan lain, main lain.
2. Konsultasi
Teologi dan Liturgi hari ini adalah sebuah proses berteologi yang panjang dan
tidak mudah. Teologi bukan sekedar sebuah makna yang lahir dari dua kata “theos’ dan “logos” saja. Sebab berteologi dalam GKI Di Tanah Papua adalah
seluruh aktivitas, seluruh kerja, seluruh karya untuk menjadikan kehidupan
kita, pelayanan kita, panggilan kita dalam Gereja ini menjadi bermakna bagi
Tanah Papua. Kita mengakui bahwa ini bukan proses yang mudah tetapi ini sebuah
proses yang berkelanjutan. Sebuah proses “menjadi murid”.
3.
Kita
sedang bergumul dengan realitas yang dihadapi GKI Di Tanah Papua hari ini.
Entah itu realitas keberagaman, kondisi geografis yang berbeda antara Klasis
yang satu dengan klasis yang lain juga perubahan – perubahan serba cepat yang
sedang terjadi zaman ini. Di tengah realitas – realitas itu kita menjadikan
Teologi dan Liturgi menjadi hidup dan bermakna. Teologi dan Liturgi yang
berfondasi Firman Tuhan, yang mengalirkan kebaikan dan kasih untuk merangkul
semua orang. Menjembatani setiap orang dari
berbagai perbedaan dan mempertemukan setiap hati dalam persekutuan yang
menghadirkan tanda – tanda kerajaan Allah. Tuhan memberkati.
“Renungan pada Ibadah Malam 15 Mei
2019; Konsultasi Teologi dan Liturgi GKI Di Tanah Papua di Klasis Manokwari”
Belum ada Komentar untuk "BERTEOLOGI DALAM GKI DI TANAH PAPUA (Lukas 6:46-49)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.