RENUNGAN : MINGGU INVOCAVIT
Ada pepatah: Jadilah orang pintar
tetapi jangan merasa diri paling pintar. Jadilah orang benar tetapi jangan
merasa diri paling benar. Pepatah ini mengandung nasihat bahwa menunjukkan
kemampuan diri atau kelebihan diri itu baik tetapi jangan menjadi
sombong/congkak.
Allah menentang orang yang congkak
tetapi mengasihani orang yang rendah hati (Yak. 4:6). Dalam perumpamaan tentang
orang Farisi dan pemungut cukai, Yesus mengecam keras sikap menonjolkan
diri/congkak. Ayat 9 pembacaan ini secara jelas menyatakan bahwa perumpamaan
ini ditujukan pada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang
rendah semua org lain.
Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa: yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Yesus memakai objek yang kontras ini untuk menggambarkan perbedaan di antara penyembahan yang palsu dan pertobatan yang sejati.
Firman ini mengisahkan orang Farisi
yang sedang berdoa demikian: “Ya Allah aku mengucap syukur kepada-Mu, karena
aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim,
bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali
seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku”.
Dari doa ini kita bisa menyimpulkan
bahwa orang ini sangat saleh. Jangan-jangan orang seperti dia ini sangat langka
di jaman modern ini, namun mengapa doa ini bermasalah? Karena Tuhan tahu hati
dan motivasinya. Tuhan katakan “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan
direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Persoalannya bukan terletak pada
tindakan si Farisi, melainkan pada sikapnya yang menganggap diri benar. Ia
datang tidak untuk meminta belas kasih Tuhan. Ia malah dengan bangga memaparkan
hal-hal yang baginya adalah bukti kebenarannya. Doanya menunjukkan betapa
bangga dan puasnya ia pada dirinya. Yang menjadi subjek dari doanya ialah dirinya
dan bukan lagi Tuhan.
Lain hanya dengan pemungut cukai. Ia
berdiri jauh-jauh, bahkan tidak berani menengadah ke langit. Ia memukul diri
dan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini”. Tuhan merespon lain
terhadap orang ini dengan mengatakan : Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang
ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.
Pemungut cukai merupakan orang-orang
yang rendah di mata orang-orang Yahudi. Mereka dipandang sebagai orang-orang
yang berdosa. Para pemungut cukai merupakan orang-orang yang ditolak. Mereka
dibenci rekan sebangsanya, dan hanya dianggap sebagai budak oleh orang-orang
Romawi yang memerintahnya. Mungkin pemungut cukai dalam cerita ini juga
merupakan salah satu orang yang merasakan sakit penolakan itu.
Sama sekali ia tidak berani
membanggakan dirinya. Hanya satu yang ia perlukan, yaitu belas kasihan dan
kemurahan Tuhan. Karena itulah dalam doanya ia berseru “Kasihanilah aku ya
Tuhan.” Pemungut cukai ini tahu posisinya dihadapan Tuhan dan sesama. Ia
menyadari identitasnya sebagai orang yang berdosa.
Kejujuran dan keterbukaan hati si pemungut cukai telah membuka pintu rahmat Tuhan. Permohonan belas kasih yang dipahat dari jeritan hati yang remuk selalu menyentuh hati Tuhan. Jika orang Farisi membawa kebanggaan perbuatan salehnya maka pemungut cukai membawa dirinya dan hidupnya yang berdosa untuk Tuhan.
Kita akan memasuki minggu sengsara ke
II yang disebut Minggu Invocavit. Invocavit artinya : Berserulah kepadaKu,
diambil dari Mazmur 91:15a : “Bila ia
berseru kepadaKu, Aku akan menjawab”. Tuhan setia mendengar seruan kita.
Tuhan tidak pernah menutup telingaNya terhadap doa – doa kita. Tapi
bagaimanakah sikap kita dalam hubungan dengan sesame kita dan dalam hubungan
dengan Tuhan? Jangan – jangan tanpa kita sadari, kita bersikap seperti orang
Farisi. Kita menyebut diri suci padalah sesungguhnya ruci. Kita menganggap diri
saleh padahal sebenarnya salah. Kita menyatakan diri setia padahal setia yang
kepanjangannya “segala tipu ada”. Kita
merasa diri paling benar dalam keberdosaan kita.
Ketika kita merenungkan derita dan
sengsara Kristus, patutlah kita menyadari betapa berdosanya kita dan betapa
besarnya kasih Tuhan bagi kita. Seruan kita didengar oleh Tuhan ketika kita
menanggalkan “kebenaran semu” dalam hidup kita. Tuhan menghendaki kita
mengatakan keadaan kita dengan jujur, dan dengan penyesalan atas dosa kita
bukan ditutupi ataupun dikemas dengan kemasan yang “kudus”. Tuhan mengetahui
kedalaman hati kita masing – masing. Jangan ada Farisi-isme di hidup kita. Tuhan
memberkati.
“Doa bukan dinilai dari
kefasihannya, melainkan dari kesungguhannya. Bukan soal siapa yang
mengucapkannya, melainkan kesungguhan jiwa yang memohonnya”.
(Hannah More)
Belum ada Komentar untuk "RENUNGAN : MINGGU INVOCAVIT"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.