GKI DI TANAH PAPUA DAN GERAKAN OIKUMENE
GKI di Tanah Papua adalah
bagian dari Gereja Tuhan yang esa di seluruh dunia. Kehadiran GKI di Tanah Papua bukanlah untuk
dirinya sendiri tetapi bersama – sama sebagai Gereja yang esa menjadi garam dan
terang di tengah dunia. Oleh sebab
itu upaya memperkuat semangat ekumenis di tengah – tengah kehidupan berjemaat sangatlah penting.
Kita sering mendengar istilah “ibadah oikumene”, “KKR
oikumene” bahkan ada Gereja yang menamakan dirinya Gereja Kristen Oikumene
(GKO). Namun apa sebenarnya makna oikumene itu dan bagaimana Gerakan Oikumene berkembang?
Serta bagaimanakah GKI di Tanah Papua secara khusus pemuda GKI menampakan
semangat ekumenis? Hal – hal inilah yang disajikan dalam materi GKI dan
Gerakan Oikumene yang diharapkan memberi pemahaman bagi pemuda Kristen untuk
menjadi pemimpin – pemimpin Kristen yang berwawasan oikumenis.
APA ITU GERAKAN OIKUMENE?
Kata Oikumene berasal dari bahasa Yunani: Oikos yang berarti “rumah” dan Monos
yang berarti ‘satu”. Yang dimaksud “rumah” adalah dunia ini. Jadi kata oikumene berarti dunia yang didiami oleh seluruh umat manusia. Manusia
yang berada di dalam dunia yang sama, memiliki latar belakang budaya dan agama
yang berbeda-beda (majemuk). Oikumene menjadi dasar pendekatan bagi hubungan
persekutuan dalam kemajemukan tersebut. Di sini budaya dan agama tertentu
tidak lebih menonjol dan lebih utama, tetapi kemajemukan itu secara
bersama-sama memberi tempat bahkan mengupayakan apa yang menjadi kepentingan
bersama/umum.
Ketika Yunani di bawah Alexander
Agung, kata oikumene merujuk kepada seluruh bagian bumi yang didiami oleh
manusia. Juga digunakan untuk menyebut daerah-daerah yang didiami oleh
orang-orang Yunani. Dalam bahasa Yunani Koine di bawah Kekaisaran Romawi dan
dalam Perjanjian Baru, kata oikoumene secara harafiah berarti dunia, dalam artian dunia di bawah kekuasaan Roma. Jadi secara umum, kata oikumene berarti manifestasi
persekutuan seluruh umat manusia yang memiliki latar belakang yang berbeda
(majemuk).
Dalam kekristenan, oikumene dimaknai sebagai upaya untuk mempersatukan
orang-orang Kristen lintas denominasi di dalam satu kesatuan tubuh Kristus
untuk secara bersama-sama melaksanakan misi Tuhan bagi dunia. Oikumene merupakan manifestasi (penampakan) persekutuan orang Kristen dalam
satu tubuh antara sesama denominasi Gereja yang memiliki latar belakang dogma
dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun
internasional.
Pada kenyataannya oikumene di kalangan kristen sering dipahami dari 2 segi:
a.
Sebagai suatu
istilah yang dipakai untuk perkumpulan lintas denominasi berupa
kegiatan-kegiatan atau ibadah bersama, tanpa menekankan tata cara peribadatan
atau liturgi dan doktrin Gereja tertentu. Jiwa oikumenis sering
diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar Kristen, seperti:
Paskah Oikumene dan Natal Oikumene sehingga ada sebagian orang mengidentikkan
kegiatan secara bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan,
konsultasi, rapat dan mengadakan proyek secara bersama-sama itu sudah
menyatakan kesadaran Oikumenis.
b.
Sebagai suatu usaha untuk menyatukan seluruh Gereja,
dengan mempunyai satu tata Gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama. Menjadikan
satu semuanya (uniformitas). Hal ini berarti seluruh Gereja, dengan berbagai
latar belakang, berlainan suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi dileburkan
menjadi satu. Akibatnya satu pihak, orang kecewa karena sampai begitu jauh dan
lama tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu Gereja Kristen yang esa di
Indonesia. Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika
seluruh Gereja harus meleburkan diri menjadi satu Gereja.
Hal ini akan berarti setiap Gereja akan kehilangan
identitasnya. Maka ada, sebagian Gereja mengambil jarak dalam mengikuti gerakan
Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak
sesuai dengan selera dan pendapat, maka akan saling berjalan sendiri-sendiri.
Sebenarnya gerakan Oikumene bukanlah soal ibadah – ibadah
bersama saja, bukanlah pada soal menjadikan semuanya satu, bukanlah soal menguntungkan
atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di mana Gereja-Gereja hanya
bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk memenuhi target itu.
Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong Gereja-Gereja untuk
berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama. Pada
hakekatnya Gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala Gereja.
Dengan kesadaran ini mendorong Gereja-Gereja berjalan bersama-sama pada satu
jalan, menampakkan kesatuan Gereja Yesus Kristus di dunia ini.
GERAKAN OIKUMENE DI DUNIA DAN INDONESIA
Para ahli sejarah Gereja
cenderung memilih konfrensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai
titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan
Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana Gereja-Gereja
di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika
diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh 1910, pergerakan
Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori
Internasional. Nanti pada konfrensi Edinburgh barulah dapat dikatakan
Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh
1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam
konfrensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan.
Pada tanggal 22 Agustus
1948 diadakan pembentukan Dewan Gereja – Gereja sedunia (DGD) di Amsterdam.
Dewan ini mengadakan Sidang Raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 Gereja
dan di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia. DGD yang merupakan hasil
dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan
Oikumene.
Di Indonesia, gerakan oikumene berawal dari pembentukan Dewan Gereja-Gereja
di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950 dalam Konfrensi Pembentukan DGI
tanggal 22-28 Mei 1950 di Jakarta. DGI kemudian berganti nama menjadi
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sejak Sidang Raya DGI di Ambon
(1984). Istilah “persekutuan” dipakai menggantikan “dewan” dengan pertimbangan
bahwa “persekutuan” lebih mencerminkan kesatuan lahir batin, lebih mendalam,
lebih Gerejawi daripada nama “dewan”. Pembentukan PGI ini bertujuan untuk
mewujudkan Gereja kristen yang esa di Indonesia. PGI menjadi motivator
utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia. PGI bersimbol perahu bersalib, yang
dimengerti sebagai perahu oikumene.
PGI memakai lambang yang
sama dengan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), menandai keesaan dalam usaha,
kerja dan doa. Lambang ini adalah salah satu lambang tertua dari Gereja, berupa: sebuah PERAHU yang tengah
berlayar di seluruh perairan dunia dengan muatan tertentu, yaitu IMAN,
PERSEKUTUAN, PENGHARAPAN. Di tengah-tengah perahu OIKOUMENE itu tertanam sebuah
SALIB. Kapal ini mengingatkan kita akan perahu yang dipergunakan Tuhan Yesus
dan murid-murid-Nya di danau Galilea.
Pada sidang raya PGI pada tahun
1971 di Pematang Siantar pendekatan keesaan Gereja itu ditekankan pada soal
fungsi Gereja. Sidang tiba pada suatu kesimpulan yaitu “keesaan dalam kepelbagaian”.
Kepelbagaian Gereja-Gereja diakui tetapi dengan satu ikatan yaitu melalui PGI. Gereja-Gereja
melaksanakan tugas panggilannya masing-masing.
Dalam perkembangannya gerakan
oikumene di Indonesia juga semakin berkembang. Setelah PGI, kemudian lahirlah
organisasi-organisasi lokal yang oikumenis antara lain :
1.
Sinode Am Gereja-Gereja
Sulawesi Utara/Tengah (SAG SULUTTENG).
2.
POUK
(Persekutuan Oikumene Umat Kristen) di tempat-tempat seperti pemukiman,
perusahaan dll di mana umat Kristen dari berbagai Gereja bertemu. POUK ini
bukan Gereja karena itu anggota POUK tetap menjadi anggota Gereja
masing-masing.
3.
BK3 (Badan
Kerjasama Kegiatan Kristen).
4.
BKSAG (Badan
Kerjasama Antar Gereja).
5.
Forum Komunikasi
Antar Gereja.
Munculnya gerakan oikumene di Indonesia adalah karena melihat keadaan Gereja-Gereja
yang sering diwarnai perkelahian dan perpecahan. Harus diakui bahwa persoalan
perbedaan pandangan teologis dan ambisi memiliki andil dalam perpecahan
tersebut. Munculnya banyak denominasi di dunia dan terus ke Indonesia justru
mengkotak-kotakkan umat Tuhan. Dan tidak jarang satu denominasi merasa lebih
benar, lebih baik dan layak dibandingkan yang lain. Karena itu Gerakan
oikumene menjadi solusi dengan melihat
kepentingan terbesar dari semua kepentingan denominasi yaitu misi Tuhan di
emban dengan penuh tanggung jawab oleh Gereja-Gereja.
Dengan gerakan oikumene diharapkan terjalin komunikasi dan interaksi
diantara umat-umat Tuhan dan denominasi-denominasi dapat meninggalkan sikap
isolasinya. Demikianlah cita-cita oikumene dalam kekristenan diharapkan, bahwa
denominasi-denominasi secara bersama-sama membangun persekutuan yang kuat dalam
satu kesatuan sebagai tubuh Kristus tanpa menonjolkan dogma/doktrin
masing-masing.
PANDANGAN ALKITAB
Memahami oikumene dengan
benar maka Alkitablah yang menjadi tolak ukur. Berikut ini dapat kita lihat penggunaan istilah dan beberapa bagian Alkitab yang memunculkan kata Oikumene
Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan
beberapa kali. Dalam Perjanjian Baru setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata
Oikumene kadang-kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh
wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28;
19:27; 24:5). Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara
teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan
Kristus (Ibrani 2:5).
Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami.
Injil diberitakan di
seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14).
Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17,
band. Lukas 21:26).
Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5).
Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6;
Roma 10:18;
Ibrani 1:6; 2:5;
Wahyu 3:10; 12:9;
16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas.
Keesaan menurut Yohanes 17:20-26
Dalam bagian ini, kesatuan
orang percaya dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a).
Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan merupakan suatu analogi. Kesatuan
antara orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa
dan Anak. Kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani (I Kor. 1:2,9;
12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan dalam kehidupan (band.
Efesus 4:1-6).
Tuhan Yesus dalam doaNya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah
rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh
tiap-tiap orang.
Kesatuan di antara
orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh. 17:20).
Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa
dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan (ay. 17-19),
kemuliaan (ay. 22,24)
dan kasih (ay. 23,26),
semuanya untuk dapat dilihat orang (ay. 21,24).
Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu (Yoh. 10:30),
sehingga apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15).
Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia, maka itu tidak akan
berarti dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia harus
datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14;
band. Yoh. 17:24).
Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di
atas kayu salib (Yoh. 3:14-17;
band. Fil. 2:8).
Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yoh. 14:9-10).
Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Bapa, dan sekaligus
memperkenalkan Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan melalui
perbuatan-perbuatanNya (Yoh. 14:11).
Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak
Bapa (Yoh. 8:28; 14:24).
Jika kesatuan orang
percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21),
maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai
dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan
Allah. Kesatuan di antara orang percaya/Gereja akan terwujud jikalau orang
percaya/Gereja melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan.
Pemahaman di atas sejalan
dengan pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa
kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam
berkata dan berbuat seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak:
Perkataan dan perbuatan mereka harus mendemonstrasikan Firman dan karya Kristus
dan Bapa. Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua
itu terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus
Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Dengan demikian keesaan yang dimaksud
bukanlah untuk mendirikan satu Gereja yang esa.
Keesaan menuju Kedewasaan Iman dalam Efesus 4:1-16
Keesaan Gereja adalah
pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang memungkinkan
kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya memungkinkan di
antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3,
band. I Kor. 12:12-13).
Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat,
bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata,
terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya. Dalam mencapai keesaan di
antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah
kerendahan hati (ay. 2).
Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar;
selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena
kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang
lain (I Kor. 13:4-7).
Kesatuan di antara
orang percaya/Gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu
mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus.
Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12).
Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, Gereja perlu pengenalan yang lebih
mendalam tentang Kristus, supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam
suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan
pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef 4:13-16).
TANTANGAN, PELUANG DAN KEWASPADAAN
Ada beberapa tantangan yang menghambat
semangat oikumenis di kalangan Gereja – Gereja yaitu:
1.
Masalah
perbedaan dogma.
Perbedaan dogma/ajaran (misalnya: Baptisan, Perjamuan Kudus, Jabatan dan
lain-lain) seringkali menyebabkan perdebatan antara Gereja – Gereja yang tidak
sepaham. Anggapan bahwa yang lain tidak Alkitabiah dalam soal pengajaran dan
doktrin menjadi penghalang utama tumbuhnya semangat oikumene dan justru semakin
menebalkan sekat – sekat antara Gereja maupun denominasi Gereja.
2.
Ekslusifisme
warga jemaat.
Pandangan eksklusif warga jemaat yang beranggapan bahwa Gerejalah yang lebih
benar dan lebih layak membuat Gereja menutup
diri terhadap Gereja lain dan lebih banyak melayani dirinya sendiri, pelayanan
yang bersifat untuk Gereja sendiri membuatnya sulit untuk membangun semangat
oikumene dengan Gereja lain.
3.
Praktek di
sekitar denominasi/aliran Gereja.
Munculnya aliran-aliran Gereja yang baru bagaikan jamur yang tumbuh di
musim hujan dengan praktek-praktek “mencuri domba” menimbulkan prasangka antar Gereja
sehingga masing-masing Gereja membangun kubunya sendiri dan sulit menumbuhkan
semangat oikumene.
Terhadap tantangan – tantangan di atas maka pada
satu pihak kita harus meningkatkan kewaspadaan tetapi di lain pihak kita
juga harus mengoreksi diri, mengubah paradigma untuk menumbuhkan
semangat oikumenis. Meningkatkan kewaspadaan artinya Gereja – Gereja perlu mewaspadai
praktek – praktek yang berlabel oikumene tetapi isinya tidak oikumene karena
lebih menonjolkan doktrin Gereja tertentu. Contohnya: Ibadahnya dikatakan
ibadah oikumene tapi isinya terdapat praktek pembaptisan ulang warga Gereja
yang sudah dibaptis. Kegiatan – kegiatan berlabel oikumene tetapi tidak
memiliki jiwa oikumenis patutlah diwaspadai sebab hanya akan merusak hubungan
antar Gereja.
Terhadap tantangan - tantangan yang menghambat
itu, maka harus ada perubahan paradigma baik di aras lembaga Gereja maupun
di kalangan warga Gereja. Lembaga Gereja hendaknya
menyadari bahwa setiap lembaga Gereja tidaklah sempurna dalam segala aspek. Tiap
lembaga Gereja mempunyai keunikan, kekuatan dan keterbatasan masing-masing.
Oleh karena itu dibutuhkan keterbukaan berkomunikasi, saling menghargai dan
kerja sama, maka akan terjadi kesatuan dalam hal fungsi.
Kesatuan dalam hal fungsi (keesaan
dalam kepelbagaian) sebagaimana maksud dan substansi Gerakan Oikumene
justru merupakan peluang yang besar bagi Gereja – Gereja untuk berperan aktif
dalam memikirkan solusi-solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di
tengah-tengah Gereja dan masyarakat. Bila Gereja – Gereja tidak menumbuhkan
semangat oikumenis, bila Gereja sendiri tidak bisa hidup harmonis, rukun dan
terbuka maka sulit untuk memikirkan langkah-langkah kongkrit bagi kemajuan Gereja
dan bangsa. Karena itu keesaan dalam fungsi (oikumene) yang berpijak pada dasar
dan tujuan yang sama yaitu Yesus Kristus adalah mutlak.
Gereja perlu aktif berperan dalam melakukan transformasi menuju Indonesia
yang lebih baik ke depan. Gereja harus semakin menumbuhkan semangat oikumenis agar
dapat melihat dan merasakan persoalan bangsa, dan berperan nyata terhadap
persoalan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Sebab Gereja dipanggil bukan
semata-mata mengurus dirinya sendiri tetapi untuk melayani sesama tanpa pandang
bulu. Dalam hal ini Gereja diajarkan untuk saling
membangun, saling menopang bukan saling menjelekkan.
Dengan demikian sudah
saatnya kita perlu lebih memberikan perhatian terhadap persaudaraan bagi seluruh umat manusia sebagai
ciptaan Tuhan dalam dunia yang sama. Kerjasama oikumene perlu ditingkatkan
dalam hal pertukaran informasi, pertukaran tenaga serta peningkatan sumber daya
manusia maupun memberi bantuan bagi Gereja-Gereja yang membutuhkan baik dari
segi dana dan daya. Untuk itu, keberadaan PGI,PGPI dll hendaknya menjadi sarana
bagi sosialisasi sekaligus katalisator gerakan-gerakan oikumene supaya lebih
efektif.
GKI DI TANAH PAPUA DAN GERAKAN OIKUMENE
GKI di Tanah Papua sejak berdirinya pada 26 Oktober 1956
juga telah memupuk/ membangun semangat oikumene dengan menjadi anggota resmi
Badan – badan oikumene yakni Dewan Gereja – Gereja sedunia (DGD), Dewan Gereja
– Gereja Asia (DGA) dan Persekutuan Gereja – Gereja di Indonesia (PGI). Di
samping itu kerja sama oikumenis GKI di Tanah Papua tampak pula dalam kemitraan
dengan Badan maupun Gereja – Gereja di luar negeri seperti Gereja – Gereja di
Belanda,
Jerman, Mision 21, juga di Amerika Serikat, Australia dan Filipina. Sedangkan
di Papua sendiri, GKI di Tanah Papua bersama Gereja – Gereja lainnya ada dalam
wadah Persekutuan Gereja – Gereja di Wilayah Papua. GKI di Tanah Papua memegang
peranan penting dalam program “Papua Tanah Damai” bersama pemimpin umat dan
pemeluk agama-agama lain di Papua. Kerja sama oikumene juga mulai dibangun
dalam hal menggumuli isu-isu Hak Asasi Manusia, HIV/AIDS, dan Pembangunan
Masyarakat.
Secara kelembagaan, GKI di Tanah Papua telah menampakkan
usaha atau karya – karya Oikumenis. Di Waropen
kerja sama oikumenis terwujud dalam kemitraan dengan Mission 21 di Basel Swiss dan Sinode Pfalz di Jerman.
Kerja sama berlangsung dalam bidang Pendidikan (pemberian bea siswa) dan
Pembangunan Asrama Putri dan Putra. Tetapi haruslah diakui bahwa karya-karya
oikumenis di aras jemaat sangatlah kurang sebab di aras jemaat hanya tampak
dalam bentuk ibadah atau kegiatan-kegiatan bersama dalam perayaan hari – hari Gerejawi
tertentu. Untuk itu perlu ditingkatkan kerja sama oikumene antar Gereja selain
melalui kegiatan-kegiatan oikumene di masing-masing wilayah juga dalam hal
pertukaran informasi (dialog), peningkatan sumber daya manusia, memberi bantuan
bagi Gereja-Gereja yang membutuhkan baik dari segi dana dan daya, kerja sama
dalam proyek – proyek kemanusiaan seperti bencana alam maupun dalam mengatasi
masalah – masalah sosial (miras, judi, HIV/AIDS). Bentuk-bentuk kerja sama oikumenis
ini dapat dipelopori oleh pemuda Gereja.
Jadi, melihat realitas yang ada,
tantangan yang dihadapi, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi Gereja
untuk bangsa dan dunia maka umat Tuhan perlu terus beroikumene, bekerja sama
menyuarakan suara kenabian bagi bangsa Indonesia, memikirkan dan mengupayakan
terjadinya persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi Gereja dan
masyarakat. Semoga penyajian materi ini dapat memberi pemahaman bagi
pemuda-pemuda Kristen untuk menjadi pemimpin yang memiliki semangat oikumenis.
Materi
Latihan Dasar Kepemimpinan Pemuda Gereja (LDKPG) di Jemaat Diaspora SPV Klasis
Waropen, GKI Di Tanah Papua pada 20 April 2011.
_WarOpen, 1103'19_
Belum ada Komentar untuk "GKI DI TANAH PAPUA DAN GERAKAN OIKUMENE"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.