CINTA YANG TAK PERNAH BERUBAH
Jantungku berdegup kencang oleh kecemasan yang tak terkira. SMS adikku Minggu
sore kemarin: “segera telpon balik, ada berita yang sangat penting”. Ada 5
pesan dengan isi yang sama dan 10 panggilan tak terjawab dari nomor adikku.
Huufftthh tidur telah membuatku terhilang dari dunia sadar. Semoga bukan kabar
buruk. Kucoba menenangkan hati sambil menebak kabar apa yang akan kudengar.
Ternyata sebuah warna pada pelangi hatiku telah pergi, berpulang pada sang
Khalik. Duka di hati tak bisa digambarkan. Butiran bening dari mataku menetes
di pipi. Perih kurasa saat sadar aku belum menjadi pelangi baginya. Aku
mengingat sosoknya saat bertemu 3 tahun yang lalu. Tak pernah kusangka itulah
pertemuan kami yang terakhir. Pikiranku mulai menyusun memori bersamanya, tak
banyak memang tapi kualitasnya benar – benar istimewa. Catatan ini adalah
kenanganku tentang Mama Ani: Ny. Dinna Lamaoda/Amallo yang telah dipanggil
Tuhan pada Minggu 29 Mei 2011 pukul 13.00 Wib dan dimakamkan Selasa 31 Mei 2011
pukul 11.00 Wib di Sorong.
Tradisi dalam Gereja membuat kita punya
yang namanya Papa Ani (Papa Sarani) dan Mama Ani (Mama Sarani). Mereka adalah
orang yang bersama orang tua kandung kita, membawa kita ke gereja, menjadi
saksi pembaptisan kita dan mengaku di hadapan Tuhan dan Jemaat untuk
bertanggung jawab terhadap pembinaan iman kita. Mereka adalah orang tua rohani
atau orang tua/wali baptis yang kita sapa dengan panggilan “so sweet”: Papa Ani
dan Mama Ani.
Kita begitu bahagia mempunyai Papa Ani
dan Mama Ani yang menyayangi dan memanjakan kita seperti halnya orang tua
kandung kita sendiri. Saat – saat penting dalam hidup kita: Ulang Tahun, Natal
dan Tahun baru atau pada saat – saat penting lainnya, meski terkadang tak
bisa selalu berada di sisi kita tapi Papa Ani dan Mama Ani selalu mengingat
kita, memberi ucapan di hari – hari penting kita bahkan memanjakan kita dengan
hadiah – hadiah yang kita sukai. Papa Ani dan Mama Ani menjadi tempat kita
meminta apa saja yang kita inginkan, menjadi tempat kita mengadu bahkan menjadi
pembela saat ortu memarahi kita. Pokoknya Papa Ani dan Mama Ani menjadi orang
yang penting dalam hidup kita.
Banyak orang sering mengatakan Mama
Aniku “agak kurang waras” atau “otak angin – angin” dalam istilah orang Ambon.
Maaf, aku memberi tanda kutip pada istilah itu sebab apa yang dikatakan orang
tak pernah kutemukan dalam sosok Mama Ani. Aku tak pernah menganggapnya seperti
itu. Memang sanak saudara sering mencandaiku karena kondisi Mama Ani. Bahkan
kalau aku ngambek dan uring – uringan di rumah, Papa selalu bercanda dengan
mengatakan aku ketularan prilaku Mama Ani. Itu senjata yang ampuh agar aku tak
ngambek lagi. Dan memang benar, aku akan berhenti ngambek karena sesungguhnya
aku tak suka Mama Ani disebut seperti itu meskipun hanya bercanda.
Pernah aku bertanya pada Papa: “Kenapa
menjadikannya sebagai Mama Ani bagiku kalau kondisinya seperti itu”? Bukankah
orang tua biasanya memilih orang – orang yang hebat untuk menjadi Papa/Mama Ani
bagi anaknya? Dalam pengamatanku biasanya orang tua akan memilih dari antara
keluarga atau kenalan, orang yang memiliki kehidupan rohani yang baik bahkan
kedudukan yang terhormat atau status sosial dan ekonomi yang mapan. Apakah ini
berkaitan dengan gengsi orang tua? Entahlah...tiap orang tua mempunyai alasan
tersendiri dalam memilih Papa Ani dan Mama Ani bagi anaknya. Maka akupun selalu
menanyakan alasan itu pada Papa karena Mama Ani adalah kerabat dekat Papaku.
Sebelum dibaptis banyak kerabat Papa
dan Mama yang menawarkan diri menjadi Wali Baptisku. Sebenarnya Papa juga punya
pilihan sendiri. Tapi Mama Ani selalu meminta hal yang sama sejak aku lahir.
Papa sulit menolak permintaan itu tetapi sulit juga menerimanya. Namun akhirnya
diantara semua pilihan dan semua penawaran, beliaulah yang menjadi Mama Ani
bagiku. Papa mengabulkan permintaan Mama Ani. Kata Papa, Mama Ani pernah
kehilangan kesempatan untuk merawat satu – satunya anak perempuannya. Itulah
yang menyebabkan ia mengalami trauma dan stress lalu menjadi seperti yang
dikatakan orang. Papa tak ingin penolakan atas permintaannya membuat kondisi
Mama Ani lebih buruk. Memang benar, hal yang paling menyakitkan adalah
kenyataan bahwa kita tidak diterima, kita tidak mendapatkan rasa peduli dari
orang lain. Betapapun buruknya kondisi kita jika ada orang yang peduli, itu
akan membuat kita berharga.
Meskipun pilihan Papa menuai sikap
protes dari kerabatnya yang lain. Papa yakin bahwa pilihannya adalah pilihan
yang tepat saat melihat rona kebahagiaan dari wajah Mama Ani di hari
pembaptisanku. Papa berharap aku akan menjadi anak penghiburan bagi Mama Ani.
Pelajaran penting bagi kita: orang akan melupakan apa yang kita katakan, orang
akan melupakan apa yang kita lakukan tapi orang tidak akan pernah lupa
bagaimana kita membuat mereka merasa berarti. Cinta yang kita terima hanyalah
cinta yang kita berikan.
Aku menerima cinta yang berlimpah dari
Mama Ani. Saat liburan terutama liburan Natal dan Tahun Baru, Papa akan
mengantarku untuk tinggal bersama Mama Ani dan Papa Ani. Papa Ani adalah orang
yang tenang dan tak banyak bicara. Berbeda dengan Mama Ani yang selalu sibuk
bila aku datang. Semua ia siapkan terutama kue – kue, tentu agar aku senang
menikmati liburan itu. Kebiasaan kami, saat akan tidur sesudah berdoa bersama,
bukan Mama Ani yang bercerita mengantarku ke alam mimpi tapi akulah yang
bercerita hingga ngantuk dan tertidur. Mama Ani selalu setia mendengar cerita –
ceritaku. Ia seolah menanti setiap ceritaku seperti seorang anak menanti
dongeng neneknya. Aku bebas bercerita apa saja. Ia bahkan tak pernah
menertawakan cerita - cerita imajinasiku yang tak masuk akal sekalipun.
Setiap kali aku datang saat liburan,
Mama Ani selalu memberiku baju baru. Baju itu ia simpan hingga saat pertemuan
kami. Ketika aku datang dan kami saling melepas rindu biasanya Papaku dan Papa
Ani pasti asyik ngobrol maka Mama Ani akan memberi isyarat lalu aku
mengikutinya masuk ke kamar. Ia memberiku baju yang masih terbungkus rapi dalam
plastik, aku membuka baju itu dan kami akan tertawa bersama entah karena bajunya
kebesaran atau karena senang ternyata bajunya cocok. Kami benar – benar
menikmati setiap liburan. Jika kehabisan bahan untuk bercerita maka alunan lagu
sebuah radio tua yang diputar Papa Ani akan mengisi kesunyian kami. Sampai masa
liburan berakhir. Saat Papa datang menjemputku untuk pulang, kerabat – kerabat
Papa yang lain sering bertanya padaku: apakah aku betah tinggal bersama mama
Ani? Aku lebih sering diam dan membiarkan Papa yang berbicara dengan mereka.
Tapi hatiku selalu berkata: “aku akan kembali pada liburan berikutnya”!!!
Tiga tahun yang lalu aku dan Mama
mengunjungi Mama Ani. Banyak hal telah berubah seiring waktu yang terus
berjalan. Aku bukan lagi gadis kecil yang sering datang diantar Papa. Papaku
telah meninggal dunia dan aku merasakan suasana yang benar – benar berbeda pada
kedatanganku kali itu. Seorang kerabat Papa menyampaikan bahwa penglihatan Mama
Ani sudah kabur. Mama Ani tak dapat melihat seperti dulu lagi. Aku berpikir
mungkin ia tak bisa mengenaliku lagi. Dibandingkan saat kecilku dulu, 15 tahun
terakhir ini kami memang jarang bertemu. Saat aku masuk dan memberi salam, aku
sadar ternyata semua perkiraanku salah. Mama Ani spontan berkata: “Nona
Cos!!! Ini Nona Cos yang datang”! Dan ia berteriak – teriak gembira memanggil
Papa Ani hanya untuk mengatakan bahwa aku datang. Kami saling melepas rindu
seperti biasanya dan ia memberi isyarat kepadaku. Aku paham maka aku memapahnya
masuk kamar, seperti yang dulu sering kami lakukan. Saat itu aku berpikir
mungkin ada hal yang ingin ia ceritakan. Aku memang merasa perlu mendengar
keluhan – keluhannya. Inilah saat yang tepat untuk mendengarnya bercerita
tentang banyak hal yang tersimpan dalam hatinya. Aku bahkan tak pernah tahu
cerita tentang anak perempuannya itu. Maka akupun menunggu ceritanya.
Tapi Mama Ani tak bercerita apapun. Ia
mencari sesuatu di dalam lemari, aku hanya mengikuti gerak – geriknya. Gesekan
– gesekan plastik menjadi tanda untuk membuatnya menarik sesuatu. Aku tertegun,
ia memberiku beberapa baju. Persis seperti yang selalu dilakukannya pada setiap
pertemuan kami. Pasti baju – baju itu telah disimpannya menunggu kedatanganku.
Aku tak dapat lagi menahan keharuan. Maka tangisku pun pecah. Di mataku baju –
baju itu bukan lagi sekedar baju. Aku melihat cinta yang besar, cinta yang tak
pernah berubah seperti yang telah ia berikan kepadaku sejak kecil. Kami
berpelukan dalam keharuan dan saat itu mataku menatap beberapa foto
dilemarinya. Beberapa foto yang diatur berjejer sangat kukenal. Foto
pembaptisanku adalah foto hitam putih yang sudah mulai buram. Ada foto kami
saat aku diteguhkan menjadi Anggota Sidi Jemaat, foto wisudaku bahkan foto
pentahbisanku sebagai Pendeta. Aku sadar rentang waktu itu telah membawa banyak
perubahan dalam hidupku tapi pertemuan dengannya saat itu membuatku belajar
bahwa meskipun banyak hal berubah tapi cinta tak boleh berubah. Ia memberi
pelajaran terakhir bagiku melalui kehidupannya sendiri.
Aku teringat sanak saudara yang sebaya
denganku dari kerabat Papa seringkali mengeluh dengan sikap Mama Ani. Bagi
mereka, Mama Ani adalah orang yang cerewet dan suka mengatur. Apapun pendapat
orang tentang sosoknya, aku menemukan ada cinta yang besar dibalik semua
sikapnya termasuk trauma dan sakit hati yang pernah dialaminya. Cintanya yang
besar bagi keluarga besarnya, cintanya bagi orang – orang yang berarti
untuknya. Dan cinta itu tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Apapun
penilaian orang tentang sosoknya, aku mengalami dan merasakan ia menjalankan
tanggung jawabnya sebagai Wali Baptisku dengan sangat baik. Ia telah mencapai
garis finish dan mengakhiri pertandingan dengan baik.
Aku sangat sedih karena tak bisa
menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Hatiku perih karena tak bisa
mengantarnya ke tempat peristirahatannya. Ungkapan – ungkapan penyesalan dari
para kerabat atas ketidakhadiranku membuat hatiku bertambah perih. Seorang
saudaraku mengirim SMS: “Rupanya Mama Ani meninggalkan beberapa baju baru
untukmu, masih di dalam plastik”. Butiran bening di mataku mengalir semakin
deras. Aku merasa belum pernah memberi atau melakukan sesuatu yang berarti
baginya. Tapi ternyata selama 3 tahun ini pun Mama Ani menunggu kedatanganku
untuk memberi baju – baju itu. Cintanya yang besar tak pernah berubah walau
akhirnya maut lebih dahulu menjemputnya.
Meskipun sedih, aku percaya bahwa
kematian ini tak memisahkan aku dengannya. Suatu saat nanti, kami akan berjumpa
lagi di Sorga. Dan persis seperti yang dilakukannya dulu, ia akan menyimpan
baju untukku sebuah baju putih berkilauan, baju kemenangan. Cintanya yang besar
dan tak berubah akan disempurnakan secara penuh oleh Yesus Tuhan kita, dalam
kehidupan yang kekal di Sorga. SELAMAT JALAN MAMA ANI TERSAYANG. Padamu
kutitipkan pesan: katakan pada Papa aku sangat merindukannya dan aku sangat
berterima kasih padanya, sebab ia telah memilihmu menjadi Mama Ani bagiku.
“Marilah kita bersyukur untuk orang – orang yang membuat kita bahagia;
mereka
adalah para tukang kebun yang membuat jiwa kita bersemi”
_WarOpen,
31 Mei 2011_
*WarOpen, 2701'19_Sudah diposting di Fb Diana Pesireron pada 31 Mei 2011*
Belum ada Komentar untuk "CINTA YANG TAK PERNAH BERUBAH"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.